MASA KEEMASAN ISLAM
MASA KEEMASAN BUKU
(Bagian pertama dari dua tulisan)
Oleh Abdul Hadi W. M.
Harun al-Rasyid (786-813 M) adalah tokoh yang masyhur dalam sejarah Islam. Namanya sebagai khalifah Bani Abbasiyah yang paling terkemuka diabadikan dalam cerita-cerita yang terhimpun dalam Alf Layla wa Layla (Kisah Seribu Satu Malam) Dalam kisah yang masyhur di seluruh dunia itu khalifah al-Rasyid ditampilkan sebagai kepala negara yang adil dan pemurah, serta dekat dengan rakyat. Untuk mengetahui keadaan rakyat yang sebenarnya, tidak jarang dia menyamar sebagai orang biasa pada malam hari dan kemudian menyelidiki keadaan rakyat dari dekat.
Istananya yang megah di tepi Sungai Dajlah atau Tigris tidak hanya ramai dikunjungi para menteri dan tamu-tamu kehormatan, tetapi juga sering menjadi tempat pertemuan keluarga istana dengan para cendekiawan, ulama, penyair, filosof dan seniman. Dalam sejarah, Harun al-Rasyid memang dikenal sebagai pencinta ilmu pengetahuan, sastra dan filsafat, serta pelindung besar perkembangan seni dan penerbitan buku. Begitu pula putranya khalifah al-Makmun (813-847 M). Pada zaman pemerintahan dua sultan inilah dunia penulisan dan penerjemahan buku berkembang pesat, menjadikan Baghdad sebagai pusat kebudayaan dan peradaban terbesar di dunia selama beberapa abad.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan ilmu dan penulisan buku berkembang pesat pada waktu itu. Ahli-ahli sejarah Islam mencatat di antara faktor-faktor itu ialah:
Pertama, adanya hubungan yang dinamis antara kebudayaan Arab dengan kebudayaan lain yang telah maju sebelum datangnya agama Islam, misalnya Mesir, Babylonia, Yunani, India, Persia dan Cina. Kedua, sejak abad ke-9 M di negeri-negeri Islam telah tumbuh pusat-pusat kebudayaan yang satu dengan yang lain saling berlomba mengembangkan kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Misalnya Madinah, Mekkah, Fustat, Qairwan, Baghdad, Kurtuba (Cordova), Damaskus, Kufa, Basra, Nisyapur, Isfahan dan lain-lain.
Ketiga, lembaga-lembaga pendidikan dan ilmu berkembang pesat mengikuti perkembangan masjid dan lembaga keagamaan. Keempat, raja-raja Muslim, amir, bangsawan kaya, saudagar dan menteri-menteri yang berpengaruh memberikan dorongan dengan dana yang melimpah bagi perkembangan tersebut. Kelima, terdapat kebebasan berpikir dan mengemukakan pendapat yang dijamin oleh undang-undang. Walaupun pendapat-pendapat yang dikemukakan sering bertentangan dengan pandangan resmi kerajaan, namun pendapat dan gagasan yang bernas dibiarkan tumbuh. Sedang pemikiran dan pendapat yang dangkal mendapatkan kritik keras. Bahkan di antara khalifah-khalifah Abbasiyah sendiri terdapat beberapa pemimpin yang toleran dan lapang dada menerima perbedaan pendapat dan kritik, terutama Harun al-Rasyid dan al-Makmun. Pada masa itu di berbagai pelosok negeri Islam terdapat banyak pencinta buku. Pemerintah dan swasta berlomba-lomba mendirikan perpustakaan.
Faktor yang tidak kalah penting ialah terbongkarnya rahasia pembuatan kertas di Cina melalui tawanan-tawanan Cina yang ditangkap di Samarqand dalam beberapa pertempuran antara Baghdad dan negeri Cina. Setelah cara-cara pembuatan kertas dipelajari secara mendalam, serta dilakukan percobaan berulang kali, maka orang-orang Islam pun segera dapat membuat kertas dengan tehnik yang setara dengan tehnik orang-orang Cina. Pada tahun 800 M Harun al-Rasyid meresmikan pembangunan pabrik kertas pertama terbesar di dunia Islam. Pabrik kertas di Baghdad ini adalah pabrik kertas pertama terbesar di luar Cina.
Lima belas tahun kemudian khalifah mendirikan Khizanat al-Hikmah, sebuah pusat perbukuan dan perpustakaan besar. Berkat kecintaan khalifah pada buku, lembaga ini berkembang pesat. Ratusan manuskrip dalam berbagai bahasa, berisi teks berbagai ilmu pengetahuan, sastra dan filsafat, berhasil dikumpulkan dari berbagai negeri. Sampai pertengahan abad ke-9 M koleksi buku lembaga ini mencapai kurang lebih satu juta. Seorang ahli sejarah yang berkunjung ke Baghdad pada tahun 891 M melaporkan bahwa pada waktu itu terdapat tidak kurang 800 perpustakaan di Baghdad, milik pemerintah dan swasta.
Bayt al-Hikmah
Pada tahun 830 M khalifah al-Makmun, seorang pencinta buku yang dikelilingi para filosof Mu`tazila, mengembangkan lembaga ini menjadi sebuah lembaga pendidikan tinggi terkemuka. Namanya pun dirubah menjadi Bayt al-Hikmah, artinya Balai Ilmu Pengetahuan. Dalam lembaga ini diajarkan berbagai bahasa, metode penerjemahan dan penelitian ilmiah. Dari waktu ke waktu proyek penerjemahan buku filsafat dan ilmu semakin meningkat.
Khalifah al-Makmun menghimpun banyak penerjemah dan ahli bahasa dari berbagai negeri. Tidak mengherankan apabila kegiatan penerjemahan merupakan salah satu kegiatan dominan di lembaga ini. Khalifah juga bersemangat mengumpulkan manuskrip-manuskrip berharga dari negeri-negeri sekitarnya seperti Byzantium, Iran, India, Mesir dan Yunani.
Usaha penerjemahan sebenarnya telah dimulai sejak khalifah kedua Abbasiyah, yaitu khalifah al-Mansur (753-774 M), meneruskan kegiatan serupa pada zaman akhir pemerintahan Bani Umayyah di Damaskus. Kegiatan penerjemahan meningkat pada zaman khalifah Harun al-Rasyid dan al-Makmun. Di antara penerjemah paling aktif pada masa Harun al-Rasyid berasal dari keluarga Barmaki, seorang terpelajar keturunan Persia dari Khurasan yang selama beberapa generasi memainkan peranan penting dalam kehidupan intelektual dan budaya di lingkungan kerajaan Abbasiyah. Misalnya Abu Sahl Fazl bin Nawbakt dan Alan al-Syu`ubi. Terdapat juga beberapa penerjemah dari Syria seperti Yuhanna bin Masuya yang beragama Kristen.
Penerjemah-penerjemah terkenal di masa kemudian ialah Hunayn al-`Ibadi (w. 873 M); al-Kindi (w. 873 M) seorang filosof terkemuka; al-Khwarizmi (w 863 M) seorang ahli matematika dan perimus lograitma atau algoritma; dan lain-lain.
Sampai abad ke-10 M berkat kegiatan lembaga ini, khususnya sebagaimana dicatat oleh al-Nadim dalam Kitab al-Fihrist, tidak kurang 10 karya filsafat Plato; 18 karya Aristoteles; 64 naskah tentang kedokteran dan farmasi karangan Galenus; 10 karya Hypocrates tentang kedokteran, ilmu hayat, psikologi dan filsafat; 7 karya Euclidus tentang matematika dan geometri; serta ratusan lagi karya Yunani lain, Mesir, Syria, Cina, India dan Persia diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Melalui jalan demikian ilmu pengetahuan dan filsafat klasik dari berbagai peradaban besar dialihkan ke dalam lingkungan peradaban dan kebudayaan Islam. Dalam lingkungan baru tersebut berbagai cabang ilmu, pemikiran falsafah dan sastra klasik itu ditransformasikan menjadi ilmu-ilmu baru dan pemikiran falsafah baru.
Di antara karya Plato yang diterjemahkan dan merupakan rujukan penting hingga kini ialah Kitab al-Siyasah (Politik) dan Kitab al-Nawamis (Hukum dan Kenegaraan). Di antara karya Aristoteles yang tidak hanya diterjemahkan, namun juga disadur dan diberi komentar, ialah Kitab Qathigurias (Kategori), Kitab al-`Ibarat (Tafsir Falsafah), Kitab Tahlil al-Qiyas (Prior Analytic), Kitab al-Kithabat (Retorika), Kitab al-Syi`ri (Poetika), Kitab al-Nafs (Psikologi) dan Kitab al-Akhlaq (Etika). Karya Galenus antara lain ialah Kitab Ta`rif al-Mar`i `Uyuba Nafsihi (Titik-titik Lemah Tubuh Manusia), Kitab al-Thabibi wal Failasufi (Tabib dan Filosof), Kitab Syifa al-Amradh (Penyembuhan Penyakit), Kitab al-Mizaj (Susunan Tubuh) dan lain-lain. Karya Hypocrates antara lain Kitab al-Amradhil Haddati (Penyakit-penyakit Gawat), Kitab al-Ibizimiya (Epidemi atau Penyakit Menular) dan Kitab al-Thabiat al-Insani (Tentang Sifat-sifat Manusia).
Di antara karya-karya Persia yang diterjemahkan ialah Kisah Rustam dan Isfandiyar, Kisah Bahram dari Sussa, Khalila dan Dimnah, Kitab Agama Mazdak, Sejarah Raja-raja Persia dan lain-lain. Karya-karya India yang diterjemahkan antara lain ialah Kitab Sardi fi al-Thibbi (Urutan dalam Ilmu Kedokteran) karya Manika, Kitab Asmnai `Aqaqir al-Hindi (Obat-obatan India), Kitab al-Hayat al-Hubaba fi al-Hindi (Pengobatan Wanita Hamil), Kitab Sakri fil al-Hindi (Penyakit Gula), Kitab Uraian Tentang Buddha, Kitab al-Thuruq (Berbagai aliran Mistikisme), Kitab Baidaba fi al-
Hikmati (Pokok-pokok Pikiran Baidaba tentang Filsafat), Kitab fi al-Musiqi wa Ushul al-Alhani ( Musik dan Dasar-dasar Lagu), dan banyak lagi.
Ada banyak faktor yang melatari terjadinya pemindahan dan pengalihan besar-besaran tradisi ilmiah dari peradaban non-Islam ke dalam buaian peradaban Islam. Faktor-faktor tersebut bersifat internal dan eksternal. Menurut Mehdi Nakosteen (dalam bukunya History of Islamic Origins of Western Education (The University of Colorado Press, 1964: 13-15) di antara faktor-faktor tersebut ialah:
(1) Pengusiran besar-besaran orang Kristen Nestoria dan Monofisit oleh penguasa Byzantium (Rumawi Timur) yang menganut madzab Kristen Ortodoks. Sejumlah besar ilmuwan Nestoria dan Monofisit mendapat perlindungan penguasa Bani Sassan di Persia dan sebagian lagi pindah ke Arab. Mereka membawa dan mengembangkan tradisi ilmiah Yunani dan Rumawi di tanah airnya yang baru, terutama astronomi, matematika, kedokteran dan teknologi. Ketika orang Islam datang menaklukkan wilayah-wilayah ini, golongan minoritas ini disambut gembira, terutama karena orang-orang Islam memiliki toleransi agama yang tinggi dibanding pemeluk agama lain, khususnya Kristen Ortodoks. Malahan tidak sedikit di antara ilmuwan-ilmuwan itu yang kemudian memeluk agama Islam.
(2) Sebelum itu telah terjadi peristiwa penting yang menyebabkan tradisi filsafat dan ilmu Yunani berkembang di Timur, yaitu penaklukkan Macedonia di bawah pimpinan Iskandar Agung (336-323 SM) atas Mesir, Persia dan India. Tradisi ilmiah Yunani ini dikembangkan dengan diperkaya dengan tradisi nasional setempat. Ketika negeri-negeri ini ditaklukkan orang Islam, tradisi tersebut dengan cepatnya diserap oleh orang Islam dan ditransformasikan ke dalam tradisi baru yang lebih berkembang dan maju.
(3) Sebelum Persia ditaklukkan oleh kaum Muslimin Arab di situ telah berdiri akademi Ilmu Pengetahuan yang berpengaruh, yaitu Akademi Jundi Shapur, didirikan oleh maharaja Bani Sassan, Shapur. Dalam akademi ini dikembangkan paduan tradisi ilmiah Persia, India, Yunani, Syria, Ibrani dan Rumawi. Usaha penerjemahan kitab-kitab Yunani dan lain-lain yang dilakukan oleh akademi ini dilanjutkan oleh orang Islam setelah Persia ditaklukkan pada abad ke-7 M.
(4) Faktor lain ialah kegiatan ilmiah yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi, terutama penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Ibrani dan Arab, baik sebelum maupun sesudah datangnya Islam. Tidak sedikit orang-orang Yahudi ini bekerja pada pemerintahan kaum Muslimin pada zaman Umayyah dan Abbasiyah, bahkan di antaranya memeluk agama Islam.
Perpustakaan dan Toko Buku
Kecintaan orang Islam pada buku serta ilmu pengetahuan dan sastra sebenarnya telah bermula sejak kelahiran agama Islam sendiri. Banyak ayat dalam al-Qur`an berisi anjuran agar umat Islam mendaya gunakan pikirannya sampai ke tingkat setinggi-tingginya dan menumbuhkan ilmu pengetahuan untuk keperluan manusia sendiri selaku khalifah Tuhan di muka bumi. Seruan bahwa mempelajari berbagai ilmu pengetahuan dan mengembangkannya, juga ditemui dalam banyak Hadis Nabi. Agama Islam sendiri dalam perjalanan sejarahnya ialah agama yang secara konsisten mempertahankan diri sebagai agama berdasarkan kitab, yang dengan demikian mengharuskan perlunya umat Islam mengembangkan budaya baca-tulis.
Kecintaan pada buku yang tumbuh sejak permulaan tarikh Islam itu dibuktikan dengan munculnya perpustakaan pertama untuk dunia Islam di Damaskus pada tahun 704 M, yang didirikan oleh khalifah Khalid bin Yazid, cucu Muawiyah bin Abi Sufyan sang pendiri Daulah Umayyah. Khalid bin Yazid sendiri adalah seorang ahli kimia. Dia pernah belajar pada seorang pendeta Yunani bernama Niryamus dan telah menulis tiga buah buku mengenai ilmu kimia. Ibn al-Nadim yang mengunjungi perpustakaan Khalid pada tahun 987 M menuturkan bahwa di antara koleksi kesayangan Khalid ialah buku-buku kedokteran, astronomi dan kimia.
Sejak munculnya perpustakaan pertama pada awal abad ke-8 M kegiatan penulisan dan penyalinan naskah lama semakin digalakkan di kalangan kaum Muslimin. Di antaranya penyalinan puisi-puisi dan cerita-cerita Arab sebelum Islam. Bersamaan dengan itu kajian terhadap filologi dan linguistik Arab juga berkembang, disusul berkembangnya ilmu Tafsir, Hadis, Fiqih, Ilmu Kalam, Sejarah, Biografi dan Sastra.
Pada zaman Abbasiyah jumlah buku yang ditulis dan diterbitkan berlipat ganda, begitu pula jumlah perpustakaan dan toko buku. Tidak sedikit buku-buku yang diterbitkan itu tergolong buku tebal yang dijilid dengan baik dan dijual dengan harga sangat mahal. Pada abad ke-9 M saja, menurut seorang ahli sejarah, di Baghdad terdapat tidak kurang 100 toko buku. Banyaknya toko buku ini, menurut Olga Pinto dalam tulisannya “The Libraries of the Arabs During the Time of the Abbasids” (Islamic Culture No. 3/1929), benar-benar mendorong tumbuhnya perpustakaan umum dan pribadi di kota-kota besar dalam wilayah kekhalifatan Abbasiyah. Pada masa ini cabang-cabang lain ilmu pengetahuan juga berkembang di Dunia Islam, khususnya Geografi, Matematika, Farmasi, Linguistik, Tatabahasa (Nahu), Puitika, Musik dan Tasawuf.
Khalifah Abbasiyah pertama, yang mendapat gelar tidak simpatik, yaitu Abu al-Abbas al-Saffah (al-saffah berarti penumpah darah), adalah seorang pencinta besar buku. Pada masanyalah pengumpulan dan penerjemahan kitab-kitab sastra dan ilmu mulai dilakukan secara besar-besaran dan terprogram dengan baik. Di dalam perkembangan ini jasa para khuttab, yaitu para sekretaris yang telah muncul pada zaman Umayyah dan menjadi golongan terpelajar tersendiri pada zaman Abbasiyah, tidak kecil. Kecintaan para khuttab pada Hadis dan Ilmu Tafsir menyebabkan pesatnya perkembangan studi Hadis dan Tafsir, yang kelak menjadi landasan utama Ilmu Fiqih dan Syariah.
Pada maza Abu al-Abbas al-Saffah ini pulalah kitab suci agama Persia Kuno diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Tidak terhitung penerjemah asing bekerja untuk tugas penerjemahan ini. Di antara penerjemah terkenal ialah Ibn al-Muqaffa`, seorang sastrawan yang masyhur berkat karyanya Khalilah wa Dimnah. Ketika mulai menjabat sebagai penerjemah istana, Ibn al-Muqaffa` masih memeluk agama Zardusht (Zoroaster), namun kemudian memeluk agama Islam. Ibn al-Muqaffa’ adalah seorang ahli bahasa Sanskerta dan Persia Kuno (Pahlewi). Selain Khalilah wa Dimnah, dia menghasilkan banyak lagi karya khususnya berkenaan dengan adab. Teman sejawat Ibn al-Muqaffa` yang terkenal ialah dua penerjemah Kristen dari Syria bernama Jabriel dan Patrick. Sedangkan penerjemah berbangsa Arab yang terkenal ialah al-Farazi, seorang penulis buku sastra yang prolifik.
Sarjana-sarjana India juga berdatangan ke Baghdad untuk bekerja pada khalifah. Melalui bantuan mereka banyak buku-buku India, khususnya berkenaan dengan Ilmu Politik, Farmasi, Kedokteran, Astronomi, Matematika, Musik dan Sastra diterjemahkan. Di antara karya India yang diterjemahkan itu ialah buku yang masyhur tentang astronomi karangan Sidhanta.
Pada masa khalifah Harun al-Rasyid, Baghdad telah menjadi pusat perbukuan dunia. Di Khizanat al-Hikmah berkumpul banyak sekali sarjana, sastrawan, penyalin naskah, ahli kaligrafi, ilustrasi dan lain-lain. Perdana menteri baginda, Yahya Barmaki ditunjuk menjadi duta besar untuk India. Tugas khususnya ialah mengundang para sarjana India datang ke Baghdad dan bekerja sebagai penerjemah dengan imbalan besar.
Dalam memilih penerjemah, khalifah Harun al-Rasyid tidak memandang ras, kebangsaan dan agama. Bahkan beliau mengangkat I`yan Syu`ubi, seorang Persia yang anti-Arab, menjadi kepala perpustakaan istana.
Penerjemahan besar-besaran buku asing ini pada gilirannya merangsang orang-orang Islam berlomba-lomba menulis buku asli dan melakukan penelitian ilmiah. Untuk mendorong kegiatan ini khalifah mendirikan lembaga tersendiri di bawah pimpinan seorang guru besar. Selain itu dorongan untuk melakukan penelitian dan menghasilkan karya asli dipicu oleh besarnya honorarium yang diberikan oleh khalifah kepada para penulis buku. Itulah sebabnya para ilmuwan Muslim sangat prolifik pada waktu itu. Sebagai contoh sarjana kedokteran terkemuka al-Razi (wafat 925 M) menulis tidak kurang dari 200 risalah dan buku untuk Bayt al-Hikmah. Tidak mengherankan jumlah buku yang dijual di toko buku dan disimpan di perpustakaan-perpustakaan begitu melimpah, baik eksemplar maupun judulnya.
Dalam konteks Dunia Islam perpustakaan dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis: (1) Perpustakaan Umum. Pada umumnya perpustakaan semacam ini merupakan bagian dari masjid, madrasah atau lembaga pendidikan lain; (2) Perpustakaan Setengah Umum. Kalau perpustakaan umum terbuka untuk semua orang, perpustakaan jenis ini hanya terbuka untuk kalangan tertentu saja, khususnya para bangsawan, ilmuwan dan sastrawan terkenal. Perpustakaan semacam ini banyak terdapat di istana atau rumah orang kaya; (3) Perpustakaan Pribadi.
Di antara perpustakaan besar yang menyimpan buku-buku penting di luar perpustakaan resmi khalifah Abbasiyah adalah perpustakaan negara milik Daulah Fathimiyah di Mesir. Perpustakaan ini memliki 40 ruangan besar, masing-masing menyimpan 18.000 (delapan belas ribu) buku. Perpustakaan besar lain ialah Perpustakaan Istana Bani Samaniyah di Bukhara. Pada zaman Sultan Nuh bin Manshir (976-997 M) Ibn Sina sempat mengunjungi perpustakaan ini dan tinggal beberapa waktu lamanya untuk membaca koleksi buku yang terdapat di situ. Buku-bukunya disusun rapi dan tiap ruang diisi oleh buku-buku sejenis. Kata Ibn Sina, “Di perpustakaan ini saya mendapatkan beberapa buku yang hanya diketahui oleh segelintir orang, dan juga terdapat beberapa buku yang belum saya lihat dan tidak pernah saya lihat lagi sesudah mengunjungi perpustakaan ini.”
Besarnya perhatian terhadap perpustakaan berlanjut sampai abad ke-14 M. Tidak hanya kota-kota besar seperti Baghdad, Damaskus dan Kairo memiliki banyak perpustakaan besar dan kecil. Kota-kota kecil seperti Kufa, Basra dan Najaf juga memiliki banyak gedung perpustakaan. Di Najaf saja misalnya terdapat kurang lebih 80 perpustakaan yang masing-masing memiliki koleksi lebih dari 400. 000 buku.
Mengenai perpustakaan pribadi dan setengah umum dapat diberi contoh jumlah buku Nasiruddin Tusi. Ilmuwan terkemuka yang hidup pada abad ke-11 M memiliki koleksi lebih dari 40. 000 buku. Khalifah al-Hakim di Kurtuba Spanyol memiliki perpustakaan pribadi yang besar dengan koleksi buku 400. 000 buah. Bahkan nampak sekali di kalangan tertentu orang Islam saling berlomba membangun perpustakaan pribadi. Khususnya di kalangan orang berduit seperti menteri, saudagar, bangsawan dan jenderal.
Perpustakaan pribadi yang terkenal ialah perpustakaan Khalifah al-Aziz di Kairo pada abad ke-11 M. Koleksi bukunya mencapai 1.600.000 (satu juta enam ratus ribu) buah. Dari koleksi berjumlah besar itu 16.000 adalah buku Matematika dan 18. 000 buku Falsafah. Tidak jarang seorang penggemar buku mengkhususkan diri pada buku dengan topik tertentu. Sebagai contoh ialah Hammanid Syaifuddullah (944-967 M), seorang bekas panglima tentara dan sarjana terkemuka, mengkhususkan diri mengoleksi buku-buku sastra saja (Bersambung ke bagian II tentang peranan Penyalin Naskah dan Masjid).
Ilustrasi kitab Shah-namah. Shah-namah adalah epos atau kisah kepahlawanan Persia karya agung penyair Firdausi (abad ke-11 M). Ilustrasi ini dimuat dalam naskah yang disalin pada abad ke-16 M.
MASA KEEMASAN ISLAM
MASA KEEMASAN BUKU (2)
Abdul Hadi W. M.
Pertanyaan yang mungkin muncul ialah dorongan apa yang menyebabkan umat beragama pada zaman itu begitu mencintai buku dan ilmu pengetahuan? Siapa pula yang berperan besar dalam usaha penerbitan buku dan penyebarluasan tradisi baca tulis? Pertanyaan pertama sudah dijawab. Islam adalah agama kitab yang mewajibkan pemeluknya lelaki dan perempuan, tua dan muda, miskin dan kaya, belajar membaca dan menulis, serta menuntut ilmu sejak dalam buaian ibu hingga akhir hayat. Tanpa bekal itu ia tidak akan dapat memahami ajaran agamanya yang termaktub dalam kitab suci al-Qu’an, induk segala induk kitab dan sumber semua ilmu pengetahuan. Tetapi yang tidak banyak diketahui ialah peranan warraq atau penyalin naskah, yang juga seorang ahli kaligrafi yang menguasai bahasa dan memahami berbagai cabang ilmu pengetahuan. Begitu pula peranan masjid yang bukan semata-mata sebagai pusat peribadatan, tetapi juga sebagai tempat belajar dan pusat kebudayaan.
Peran Masjid dan Warraq
Maraknya penerbitan buku, kegemaran membaca dan perkembangan perpustakaan ini jelas merupakan buah dari didirikannya lembaga ilmu seperti Khizanat al-Hikmah dan Bayt al-Hikmah. Olga Pinto memandang berkembangan budaya baca-tulis yang lias ini sebagai hasil dari upaya ‘demokratisasi pendidikan’ dan ‘demokratisasi pengetahuan’. Pada masa itu para pemimpin Islam memang banyak membuka lembaga pendidikan, baik tingkat rendah, menengah dan tinggi, agar orang Islam berkesempatan seluas-luasnya memperoleh pendidikan. Salah satu hasilnya dapat dilihat pada masa khalifah al-Ma`mun. Dikabarkan bahwa seperempat penduduk Muslim Baghdad dari kalangan menengah pada masa itu adalah lulusan perguruan tinggi.
Namun peranan yang tidak kalah penting dalam proses demokrtatisasi pengetahuan dan perkembangan perpustakaan berada di tangan warraq, yaitu penyalin naskah. Pekerjaan seorang warraq sangat kompleks. Biasanya seorang warraq adalah juga seorang saudagar buku. Selain menyalin naskah, pekerjaannya yang lain ialah mencari naskah dan meminta izin kepada para pengarang buku untuk menyalin naskah karya mereka. Di antara warraq yang terkenal ialah al-Saubi. Dia bekerja pada sejumlah orang kaya. Buku-buku yang disalin olehnya terkenal sangat bermutu, akurat dan tulisannya indah serta bagus.
Sebagai penyalin naskah, seorang warraq juga berperan sebagai penghubung antara pengarang buku dan pembaca. Lebih dari itu mereka juga mendapat lisensi untuk mencetak dan menerbitkan buku, serta menjualnya. Pengarang buku mendapat bagian keuntungan dari hasil penjualan buku tersebut. Sepanjang sejarah Islam penghasilan warraq sangat besar dan mereka mendapat kedudukan istimewa dalam masyarakat.
Menurut Johannes Petterson dalam bukunya The Arabic Book (Princeton 1984), ada dua lembaga kunci dalam industri penerbitan buku pada masa kejayaan Islam itu. Pertama ialah masjid. Dari masjid inilah publikasi buku berasal. Dan kedua ialah warraq. Di tangan warraq inilah hasil akhir penerbitan buku dapat diperoleh.
Pada zaman Abbasiyah masjid merupakan pusat utama kegiatan intelektual Islam. Di masjid para sarjana memperkenalkan dan menguji hasil kajian ilmiah mereka di hadapan para pemuda terpelajar dan sarjana lain. Kegiatan semacam ini biasa dilaksanakan pada waktu siang hari sehabis salat lohor. Setelah seorang sarjana atau cendekiawan memperkenalkan hasil kajian ilmiahnya, terjadilah perdebatan yang seru. Berbagai hujah atau argumentasi dikemukakan. Di masjid pulalah kaum cendekiawan Muslim mendirikan halaqah, semacam lingkaran studi dan diskusi, dengan kelas-kelas pengajian ilmiah yang keanggotannya tidak mengikat.
Apabila seorang sarjana berhasrat mengarang buku, mula-mula dia membuat beberapa catatan. Kemudian merubah catatan itu menjadi muwaddah atau draf awal. Sebuah muwaddah memiliki nilai tersendiri, namun belum dapat disiapkan sebagai bahan penerbitan buku. Kata-kata untuk penerbitan ialah kharrajah, dari kata kharaja, yang artinya keluar atau muncul. Sebelum seorang pengarang memunculkan karyanya dalam bentuk buku, dia muncul terlebih dulu di masjid membawa muwaddah dan membacakan karangannya. Khalayak mendengarkan, sedangkan para warraq menuliskannya di atas lembaran kertas.
Tidak sedikit pengarang yang mendiktekan ribuan halaman naskah bukunya. Filolog al-Bawardi (wafat 957 M) mendiktekan 30.000 (tiga puluh ribu) halaman karangannya mengenai linguistik kepada beberapa warraq. Ahli Tafsir kenamaan, al-Thabari, juga mendiktekan sebanyak itu. Sedangkan Aladuddin al-Suyuthi (w. 1505 M) mendiktekan tidak kurang 600 naskah kepada para warraq.
Salinan naskah seorang warraq tidak bernilai sebelum mendapat ijazah dari pengarang. Proses memperoleh ijazah ini sangat lama dan berbelit-belit. Ini berlaku dalam rangka menjamin hak cipta dan melindungi buku dari bahasa plagiat. Seorang warrq harus membaca kembali naskah salinannya sampai tiga kali, dan setiap kali pengarang biasanya memberi catatan baru, komentar atau tambahan keterangan. Baru apabila pengarang sudah puas, sang penyalin mendapat ijazah dan berhak menerbitkan naskahnya dalam bentuk buku.
Ijazah berperanan pula sebagai tanda memperoleh izin untuk menyalin sebuah karya. Namun tidak berarti seorang pemegang ijazah mempunyai hak cipta. Apabila seorang pengarang meninggal dunia, maka salinan naskah yang dibuat seorang warraq harus dibacakan terlebih dahulu di hadapan seorang pakar. Seorang pakar biasa memperoleh royalti untuk jasanya itu dan berhak memberikan ijazah untuk naskah yang disalin si warraq.
Agaknya tulisan ini tidak cukup lengkap apabila tidak disertai dengan penjelasan mengenai pembagian atau pengelompokan ilmu yang berlaku pada zaman itu. Di antara pengelompokan yang terkenal dan diakui mantap ialah pengelompokan yang dibuat al-Nadim pada abad ke-10 M dalam bukunya Kitab al-Fihrist (lihat tulisan tentang al-Nadim dalam buku ini juga); pembagian yang dibuat oleh Ikhwan al-Safa’ (Persaudaraan Suci), yaitu himpunan cendekiawan Muslim abad ke-10 M yang berusaha mendamaikan Falsafah kaum rasionalis dan Tasawuf; dan pembagian yang dibuat oleh Abu Abdillah Muhammad bin Yusuf al-Katib, juga pada abad ke-10 M, dalam Kitab Mafatihul `Ulum.
Ikhwan al-Safa’ mengelompokkan ilmu-ilmu yang berkembang di Dunia Islam sampai pada abad ke-10 M ke dalam tiga kelompok besar, yaitu (A) Ilmu-ilmu Keduniaaan; (B) Ilmu-ilmu Keagamaan; dan (C) Ilmu-ilmu Falsafah.
A. Ilmu-ilmu Keduniaan mencakup : (1) Perkara Membaca dan Menulis; (2) Tatabahasa dan Leksikografi; (3) Ilmu Hisab (Hitung) dan Komputasi; (4) Puitika dan Persajakan; (5) Ilmu Firasat; (6) Ilmu Sihir, Perjimatan, Kimia, Sulap dan Ramalan; (7) Ilmu Perdagangan dan Kriya (kerajinan tangan); (8) Ekonomi, Pertanian dan Peternakan; (9) Penulisan Biografi dan Seni Bercerita.
B. Ilmu-ilmu Keagamaan mencakup: (1) Kajian al-Qur`an; (2) Ilmu Tafsir; (3) Hadis; (4) Fiqih dan Syariah; (5) Ilmu Kalam atau Ketuhanan; (6) Zuhud, Tasawuf dan Makrifat.
C. Ilmu-ilmu Falsafah mencakup: (1) Matematika dan Logika (al-Riyadat wa al-Mantiqiyyat), meliputi uraian tentang angka-angka, Geometri (handasa), Astrnomi (`ilm al-nujum), Geografi, Musik (al-musiq), Geometri Terapan, Ilmu Hitung atau Arismatika Teoritis; Estetika, serta Seni Rupa dan Kriya; (2) Ilmu-ilmu Alam dan Anthropologi (al-Tabi’iyyat wa al-Insaniyat) meliputi ilmu-ilmu yang menguraikan masalah materi, bentuk, ruang, waktu dan gerakan (yaitu Fisika); Kosmogoni; tentang produksi dan destruksi dalam alam; tentang anasir-anasir alam; Metereologi, Mineralogi, Matalurgi; ilmu-ilmu yang membahas esensi alam dan manifestasi-manifestasinya; Botani, Zoologi, Anatomi dan Anthropologi; Optik; Manusia sebagai mikrokosmos (`alam al-saghir); Ilmu Hayat atau Tubuh Manusia; Farmasi dan Kedokteran, khususnya yang menguraikan sebab-sebab sakit dan jenis penyakit serta pengobatannya; Ilmu Bahasa dan Naskah Lama (Filologi); (3) Psikologi (`Ilm al-Nafsaniyyat); Teologi (`Ilm al-Ilahiyyat).
Sedangkan Abu Abdullah al-Katib membagi ilmu sebagai berikut: (A) Ilmu-ilmu Keagamaan atau ilmu-ilmu yang bersumber langsung dari al-Qur`an dan Hadis; (B) Ilmu-ilmu Zahir atau Duniawi.
A. Ilmu-ilmu Keagamaan meliputi: (1) Fiqih; (2) Ilmu Kalam; (3) Nahu atau Tatabahasa; (4) Kesekretariatan; (5) Persajakan (`al-`arad) dan Puitika (al-shi`r); (6) Sejarah (al-tarikh).
B. Ilmu-ilmu Duniawi meliputi: (1) Ilmu Alam (Fisika), Matematika, Geometri dan Astronomi; (2) Logika; (3) Kedokteran (al-tibb); (4) Ilmu Hitung (`aritsmatiqa, `ilm al-`adad); (5) Geometri; (6) Astronomi (`ilm al-nujm); (7) Musik (al-musiqi); (8) Mekanika (`ilm al-hiyal); (9) Kimia (al-kimiya).
Pembagian atau pengelompokan di atas mengalami perubahan pada masa selanjutnya sesuai dengan perubahan dan perkembangan ilmu, serta metode atau kaedah yang digunakan dalam melihat ilmu.
Al-Nadim dan Kitab al-Fihrist
Akhirnya dalam membicarakan masa keemasan buku dalam Islam kita tidak bisa melupakan jasa al-Nadim (w. 998 M), penulis kitab al-Fihrist. Kitab karangannya merupakan katalog yang lengkap pada zamannya. Daftar buku dalam catalog ini diberi uraian yang sangat je;as, tak jarang buku-buku tertentu yang dianggap penting ia beri ulasan panjang lebar.
Ia sebenarnya hanya seorang pedagang buku. Kecintaannya pada buku dan ilmu pengetahuan mendorong dia mendirikan sebuah toko yang besar dilengkapi perpustakaan dan ruang diskusi. Setiap kalidia mengundang para cendekiawan, ilmuwan, sastrawan, ulama dan sarjana untuk berjumpa di toko bukunya membahas berbagai masalah berkaitan ilmu pengetahuan, filsafat, agama, dan kesusastraan. Dalam pengantar catalog bukunya dia menulis antara lain, “Kitab ini merupakan indeks buku-buku karangan orang Arab dan Persia yang ditulis dalam bahasa Arab tentang semua cabang ilmu pengetahuan. Disusun berdasarkan pengelompokan pengarang, asal-usul dan riwayat hidupnya, negeri tempat tinggal dan kebajukan-kebajikan mereka, sejak pada waktu setiap cabang ilmu ini dikembangkan sampai tahun 987 M.”
Kitab ini dibagi kedalam 10 bab utama. Enam bab pertama menerangkan buku-buku yang berhubungan dengan Islam, sedangkan 4 bab selebihnya memuat daftar buku yang tidak begitu berkaitan dengan Islam namun penting dibaca oleh orang Islam. Contohnya bab IX yang memuat daftar buku tentang sekte-sekte keagmaan seperti Harranian, Khaldea, Shabean, Manuisme, Bardesania, Khurasni, Maronit, Mazdak, dan lain-lain, serta judul-judul buku yang membicarakan aliran-aliran keagamaan tersebut. Bab IX menguraikan tentang agama-agam di India, Cina, Yunani, dan lain-lain beserta aliran masing-masing yang muncul.
Al-Nadim sendiri seorang yang sangat menyukai buku-buku filsafat. Terutama karangan al-Kindi. Di antara buku karangann al-Kindi yang telah dibacanya secara mendalam ialah Masalah Logika dan Filsafat Yang Pelik, Komposisi Angka, Pengantar Musik, Keterangan Mengenai Benda-benda Angkasa dan Seluk Beluk Geometri. Juga dipaparkan dalam kitab al-Fihris buku-buku yang paling laris seperti buku Logaristma karangan al-Khwarizmi (w. 863 M). Buku kedokteran yang paling laris ialah karangan Hunayn ibn Ishaq (w. 877 M), khususnya buku mengenai penyakit mata dan perut. Buku astronomi yang paling digemari ialah karangan al-Farghani. Buku teologi dan matematika yang popular karangan al-Razi.
Buku al-Razi lain yang populer ialah Kitab al-Hawi (ensiklopedi lengkap ilmu kedokteran) dan Kitab al-Judari wa al-Haswbah (Tentang Penyakit Campak dan Cacar). Menurut al-Nadim, selain menulis kitab-kitab kedokteran, filosof al-Razi juga menulis tak kurang 45 buku tentang ilmu kimia dan dia sendiri menyaksikannya. Sedangkan kitab geografi yang paling popular pada ketika itu ialah Klasifikasi Pengetahuan Wilayah karangan al-Maqdisi. Adapun buku tentang musik, nyanyian dan lirik lagu adalah buku karangan Ishaq al-Mawsili.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan pemikiran keagamaan serta filsafat sebenarnya tidak terlepaspula dari perkembangan bahasa dan ilmu bahasa. Bahasa Arab ketika itu berkembang pesat dan maju melampaui banyak bahasa lain yang lebih tua dan mapan seperti bahasa Latin, Sanskerta, Persia, dan Yunani Studi tentang bahasa dan sastra rab memungkinkan bahasa Arab berkembang pesat, begitu pula tatabahasanya. Perkembangan ilmu pengetahuan dan penulisan buku juga dimungkinkan karena tumbuh suburnya tradisi baca tulis di kalangan masyarakat luas sebagai akibat dari perkembangan lembaga pendidikan dan keinginan untuk menerjemahkan banyak buku dari berbagai bahasa asing.
Salah satu pentingnya buku menurut al-Nadim ialah karena setiap buku yang baik dan bermutu selalu menghadirkan kepada pembacanya betapa pentingnya seseorang memiliki wawasan yang luas. Buku yang baik dan bermutu mengajar kita mampu melakukan perkiran, perhitungan dan gambaran tentang banyak hal disertai pembuktian-pembuktian yang meyakinkan.Untuk dapat menguji kebenaran sebuah buku diperlukan bantuan logika, penguasaan bahasa, epistemology, dan filsafat. Kebenaran akan memberi bukti yang meyakinkan jika pengetahuan yang dimiliki suatu masyarakat mengalami kemajuan. Jika pengetahuan mundur maka kebenaran tidak akan pernah tersingkap.
Tetapi kata al-Nadim lagi, pengetahuan yidak hanya memerlukan pngetahuan. Jika pikiran hanya dipompa oleh science dan filsafat, dia akan seperti tanah yang kelihatan tandus dan kerontang atau seperti bangunan yang kaku dan mati. Pikiran manusia memerlukan siraman air agar segar, yaitu dengan cara membaca karya-karya imaginatif khususnya sastra. Karena itu selain menjual buku-buku science dan filsafat, serta kitab-kitab keagamaan, toko buku al-Nadim menjual pula banyak buku tentang sastra, musik, dan cabang seni yang lain.
CATATAN: Tentang al-Nadim dan Kitab al-Fihrist tak bisa diuraikan panjang lebar di sini. Mungkin dalam kesempatan lain. Wassalam.
Rabu, 21 Juli 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar