Jumat, 24 Juli 2015

PENULIS SUFI MELAYU ACEH

PENULIS-PENULIS SUFI MELAYU
DARI ACEH

Abdul Hadi W. M.

            Pada pertengahan abad ke-16 M kesusastraan Melayu mulai menapak perkembangannya yang pesat di wilayah kesultanan Aceh Darussalam. Pesatnya perkembangan ini merupakan dampak langsung dari pesatnya perkembangan agama Islam dan kemantapan tradisi intelektualnya. Kecuali itu munculnya bahasa Melayu sebagai bahasa pergaulan utama antar etnik di Nusantara di bidang perdagangan, keagamaan, sastra, keilmuan, dan politik, memberikan dampak yang tidak kecil bagi perkembangan sastra Melayu serta keluasan penyebarannya di kepulauan Nusantara.

            Di antara tokoh terkemuka yang memawa sastra Melayu naik ke puncak perkembangannya ialah Hamzah Fansuri dan Bukhari al-Jauhari. Selain dikenal sebagai sastrawan dan cendekiawan terkemuka, keduanya dikenal pula sebagai ulama dan ahli tasawuf (sufi)  terpandang. Mereka melahirkan karya yang hingga kini tetap diapresiasi dan dipelajari oleh sarjana kebudayaan Melayu. Dalam karangan ini selain dua tokoh tersebut, akan dibicarakan juga pengarang-pengarang Melayu Aceh lain.  Pada umumnya mereka adalah sufi dan ahli ahli tasawuf terkemuka yang pernah dilahirkan di bumi Nusantara. Mereka adalah juga bapak bahasa Melayu yang darinya bahasa Indonesia lahir.

Hamzah Fansuri
            Syekh Hamzah Fansuri adalah tokoh paling depan yang membawa naik kesusastraan Melayu ke puncaknya itu. Selain dikenal sebagai ahli tasawuf, ulama dan  cendekiawan, beliau juga dikenal sebagai seorang pendakwah Islam yang gigih. Beliau juga dapat dipandang sebagai peletak dasar tradisi ta`wil atau hermeneutika Islam. Sebagai faqir (sufi pengembara)  Syekh Hamzah Fansuri telah banyak mengunjungi negeri Islam di atas angin dan juga berbagai tempat di pelosok Nusantara seperti Semenanjung, Sumatra dan Jawa.
Riwayat hidupnya tidak diketahui dengan jelas , karena tidak ada catatan tertulis dijumpai mengenai perjalanan hidupnya sebagai seorang sufi dan penyair terkemuka. Yang menjadi saksi dari perjalanan hidupnya ialah syair-syair dan risalah tasawufnya sendiri. Berdasarkan syair-syairnya itu, dengan menggunakan rujukan dari berbagai sumber yang terkait, Braginsky (2004) mencoba merekonstruksi perjalan hidupnya sebagai seorang sufi dan penyair.
            Para sarjana memperkirakan dia lahir pada pertengahan abad ke-16 di Barus, kota pelabuhan antara Sibolga dan Singkil di pantai timur Sumatra. Selama beberapa abad hingga abad ke-17 M ramai disinggahi kapal-kapal dagang asing dan sejak lama menjadi salah satu pusat penyebaran dan pendidikan Islam yang penting di kepulauan Nusantara. Menjelang akhir abad ke-16 M, pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Riayat Syah gelar Sayyid al-Mukammil (1589-1604 M) Barus  dimasukkan ke dalam wilayah ke kerajaan Aceh Darussalam. Menurut Ali Hasymi (1984), bersama saudaranya Ali Fansuri, dia mendirikan sebuah dayah (pesantren) besar di daerah Singkil, tidak jauh dari tempat kelahirannya. Tahun wafat sang sufi diperkirakan pada awal aba ke-17, tidak lama sebelum atau bahkan sesudah wafatnya Syamsudin al-Sumatrani[1].
Hamzah Fansuri mempelajari tasawuf dalam tariqat Qadiriyah yang didirikan oleh Syekh Abdul Qadir Jilani. Setelah mengembara ke berbagai pusat Islam seperti Baghdad, Mekkah, Medinah dan Yerusalem, dia kembali ke tanah airnya dan  mengembangkan ajaran tasawuf sendiri. Dia juga pernah mengembara ke Iran, Afghanistan, India, Siam, Semenanjung Malaya, Jawa, Sumbawa dan Kalimantan. Sebagai sufi dia menempuh jalur pemikiran wujudiyah Ibn `Arabi, Sadrudin al-Qunawi dan Fakhrudin `Iraqi. Sedangkan karangan-karangan sastranya diilhami terutama oleh karya-karya Fariduddin al-`Aththar, Jalaluddin al-Rumi dan Abdur Rahman al-Jami. Semua nama itu merupakan sufi terkemuka Arab dan Persia pada abad ke-13 – 15 M.
Hamzah Fansuri menulis banyak kitab, tetapi yang dijumpai hingga kini ialah tiga risalah tasawufnya, masing-masing  Syarab al-`Asyiqin (Minuman Orang Berahi), Asrar al-`Arifin (Rahasia Ahli Makrifat) dan al-Muntahi. Syarab al-Asyiqin dianggap sebagai risalah tasawuf pertama, dan sekaligus karya ilmiah pertama dalam bahasa Melayu (al-Attas 1970). Versinya yang lain diberi judul Zinat al-Muwahhidin (Perhiasan Ahli Tauhid). Di situ dia menguraikan faham tasawufnya secara mendalam melalui bahasa Melayu yang sangat indah. Bahasa Melayu yang digunakan Hamzah adalah campuran dialek Pasai dan Barus.
Sebagai penyair dia sangat prolifik. Hampir semua syairnya itu berkenaan dengan pengalaman kesufian. Ikat-ikatan syairnya yang dijumpai tidak kurang dari 32 ikat-ikatan atau untaian[2]. Syair-syairnya dianggap sebagai ’syair Melayu’ pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu, yaitu sajak empat baris dengan pola bunyi akhir AAAA pada setiap barisnya (al-Attas 1968; Braginsky 1991 dan 1992). Syamsudin al-Sumatrani (w. 1630 M) menyebut sajak-sajak tersebut sebagai ruba’i, yaitu sajak empat baris dalam dua misra’ (Ali Hasymi 1975). Bersama murid-muridnya seperti Syamsudin al-Sumatrani, Abdul  Jamal, Hasan Fansuri, Syaiful Rizal, Burhanuddin dan lain-lain, dia adalah penyebar gigih faham Wahdat al-wujud  (‘kesatuan transenden wujud), atau biasa disebut faham wujudiyah.
            Sebagai penutup pembicaraan tentang tokoh ini saya kutip syairnya yang indah:

                        Subhan Allah terlalu kamil
                        Menjadikan insan alim dan jahil
                        Dengan hamba-Nya da’im Ia washil
                        Itulah mahbub yang bernama adil

                        Mahbubmu itu tiada berlawan
                        Lagi alim lagi bangsawan
                        Kasihnya banyak lagi gunawan
                        Olehnya itu beta tertawan

                        Bersunting bunga lagi bermalai
                        Kainnya warna berbagai-bagai
                        ahu ber(sem)bunyi di dalam sakai (=makhluq)
                        Olehnya itu orang terlalai

                        Ingat-ingat kau lalu lalang
                        Berlekas-lekas jangan kau mamang
                        Suluh Muhammad yogya kaupasang
                        Supaya salim jalanmu datang

                        Rumahnya `ali berpatam birai
                        Lakunya bijak sempurna bisai
                        Tudungnya halus terlalu pingai
                        Da’im ber(sem)bunyi di balik tirai

                        Jika sungguh kau `ashiq dan mabuk
                        Memakai khandi pergi menjaluk
                        Ke dalam pagar yogya kaumasuk
                        Barang ghayr (=yang selain) Allah sekalian kau amuk

                                                                        (Ikat-ikatan II, Ibid)

            Gambaran perjalanan naik dari tempat rendah ke tempat tinggi untuk melukiskan perjalanan ruhani sufi dari nafsu rendah menuju Diri Hakiki ini sesuai dengan gambaran tentang tatanan wujud dalam ontologi sufi. Tatanan tersebut dari  bawah ke atas ialah: Pertama, alam nasut (alam jasmani, disebut juga alam al-mulk, alam syahadah); kedua, alam malakut (alam kejiwaan, psyche, disebut juga alam misal; ketiga, alam jabarut (alam ruhani); dan keempat alam lahut (alam ketuhanan) (Md. Salleh Yaapar 2002:83). Seseorang yang mengenal tatanan alam yang sedemikian itu akan dapat menyempurnakan dirinya secara maksimal dan berpeluang pula mengenal hakikat dirinya.

Bukhari al-Jauhari dan Taj al-Salatin
            Kitab ini selesai ditulis pada tahun 1603 di Aceh Darussalam dan merupakan satu-satunya karangan Bukhari al-Jauhari yang dijumpai sampai saat ini. Ketika itu kesultanan Aceh masih berada di bawah pemerintahan Sultan Alauddin Ri`aayat Syah gelar Sayyid al-Mukammil (1590-1604 M), kakek Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M). Sebagai karya sastra kitab ini digolongkan ke dalam buku adab, yaitu buku yang membicarakan masalah etika, politik dan pemerintahan. Uraian tentang masalah-masalah tersebut dijelaskan melalui kisah-kisah yang menarik, diambil dari berbagai sumber dan kemudian digubah kembali oleh pengarangnya,
            Di antara kitab-kitab yang dijadikan bahan rujukan ialah (1) Syiar al-Mulk atau Siyasat-namah (Kitab Politik) karangan Nizam al-Mulk yang ditulis antara tahun 1092-1106 M; (2) Asrar-namah (Kitab Rahasia Kehidupan) karya Fariduddin `Attar (1188); (3) Akhlaq al-Muhsini karya Husain Wa`iz Kasyifi (1494); (4) Kisah-kisah Arab dan Persia seperti Layla dan Majenun, Khusraw dan Sirin, Yusuf dan Zulaikha, Mahmud dan Ayaz, dan banyak lagi; (5) Kitab Jami’ al-Thawarikh (Kitab Sejarah Dunia) yang ditulis untuk Sultan Mughal di Delhi yaitu Humayun (1535-1556); dan lain-lain. Gagasan dan kisah-kisah yang dikandung dalam buku ini memberi pengaruh besar terhadap pemikiran politik dan tradisi intelektual Melayu. Bab-bab yang ada di dalamnya, yaitu gagasan dan pokok pembahasannya selalu ditopang oleh ayat-ayat al-Qur`an dan Hadis yang relevan. Begitu pula kisah-kisah yang digunakan sebagian berasal dari buku-buku sejarah, di samping dari cerita rakyat yang terdapat dalam buku seperti Alf Laylah wa Laylah (Seribu Satu Malam) dan lain-lain. Makna yang tersirat dalam kisah-kisah itu dapat dirujuk pada ayat-ayat al-Qur`an dan Hadis yang dikutip.
            Tema sentral buku ini ialah keadilan, karena kehidupan sosial keadilanlah jalan yang mampu membawa manusia menuju kebenaran. Untuk menegakkan keadilan diperlukan kearifan dan kematangan berpikir. Buku ini dibagi ke dalam 24 bab. Bab pertama yang merupakan titik tolak pembahasan masalah secara keseluruhan membicarakan pentingnya pengenalan diri, pengenalan Allah sebagai Khaliq dan hakekat hidup di dunia serta masalah kematian. Diri yang harus dikenal oleh setiap Muslim ialah diri manusia sebagai khalifah Tuhan di atas bumi dan hamba-Nya. Melalui ajaran tasawuf, Bukhari al-Jauhari mengemukakan sistem kenegaraan yang ideal dan peranan seorang raja yang adil dan benar. Orang yang tidak adil, apalagi dia seorang raja,akan menerima hukuman berat di dunia dan akhirat. Sebaliknya raja yang baik dan adil, akan menerima pahala dan tempat di sorga. Ia adalah bayang-bayang Tuhan, menjalankan sesuatu berdasarkan sunnah dan hukum Allah.
             Bukhari tidak hanya memberikan makna etis dan moral bagi keadilan, melainkan juga makna ontologis. Raja yang baik adalah seorang Ulil albab yang menggunakan akal pikiran dengan baik dalam menjalankan segala perbuatan dan pekerjaannya, khususnya dalam pemerintahan.
Adapun tanda ulil albab ialah: (1) Bersikap baik terhadap orang yang berbuat jahat, menggembirakan hatinya dan memaafkannya apabila telah meminta maaf dan bertobat;.(2) Bersikap rendah hati terhadap orang yang berkedudukan lebih rendah dan menghormati orang yang martabat, kepandaian dan ilmunya lebih tinggi; (3) Mengerjakan dengan sungguh-sungguh dan cekatan pekerjaan yang baik dan perbuatan yang terpuji.;(4) Membenci pekerjaan yang keji, perbuatan jahat, segala bentuk fitnah dan  berita yang belum tentu kebenarannya; (5) Menyebut nama Allah senantiasa dan meminta ampun serta petunjuk kepada-Nya, ingat akan kematian dan siksa kubur; (6) Mengatakan hanya apa yang benar-benar diketahui dan dimengerti, dan sesuai tempat dan waktu, yaitu arif menyampaikan sesuatu; (7) Dalam kesukaran selalu bergantung kepada Allah swt dan yakin bahwa Allah dapat memudahkan segala yang sukar, asal berikhtiar dan berdoa dengan sungguh-sungguh. Sebagai pergantungan sekalian mahluq, Allah adalah Maha Pengasih dan Penyayang.
             Karena itu seorang raja atau pemimpin harus memenuhi syarat seperti berikut: (1) Hifz, yaitu memiliki ingatan yang baik; (2) Fahm, itu memiliki pemahaman yang benar terhadap berbagai perkara; (3) Fikr, tajam pikiran dan luas wawasannya; (4) Iradat, menghendaki kesejahteraan, kemakmuran dan kemajuan untuk seluruh golongan masyarakat; (5) Nur, menerangi negeri dengan Cinta atau kasihsayang.
              Dalam fasal ke-5  Bukhari al-Jauhari mengutip Kitab Adab al-Mulk, dan menyatakan bahwa ada beberapa syarat lagi yang mesti dipenuhi oleh seorang calon pemimpin atau raja agar dapat memerintah negeri dengan adil dan benar. (1) Seorang raja harus dewasa dan matang sehingga dapat membedakan yang baik dan yang buruk bagi dirinya, masyarakat banyak dan kemanusiaan; (2) Seorang raja hendaknya memiliki ilmu pengetahuan yang memadai berkenaan dengan masalah etika, pemerintahan, politik dan agama. Dia hendaklah bersahabat dengan orang-orang berilmu dan cendekiawan, dan bersedia mendengarkan dari mereka berbagai perkara yang tidak diketahuinya. Penasehat raja seharusnya juga orang yang berilmu pengetahuan, di samping jujur dan mencintai rakyat; (3) Menteri-menteri yang diangkat mesti dewasa dan berilmu, serta menguasai  bidang pekerjaannya; (4) Mempunyai wajah yang baik dan menarik, sehingga orang mencintainya, tidak cacat mental dan fisik; (5) Dermawan dan pemurah, tidak kikir dan bakhil. Sifat kikir dan bakhil adalah tanda orang yang syirik dan murtad; (6) Raja yang baik harus senantiasa ingat pada orang-orang yang berbuat baik dan membantu dia keluar dari kesukaran, membalas kebajikan dengan kebajikan; (7) Raja yang baik mesti tegas dan berani. Jika rajanya penakut maka pegawai dan tentara juga akan menjadi penakut. Terutama dalam menghadapi orang jahat dan negara lain yang mengancam kedaulatan negara; (8) Tidak suka makan dan tidur banyak, dan tidak gemar bersenang-senang dan berfoya-foya, karena semua itu akan membuat dia alpa dan lalai pada tugasnya sebagai kepala negara; (9) Tidak senang bermain perempuan; (10) Sebaiknya seorang raja dipilih dari kalangan lelaki yang memenuhi syarat dalam memimpin negara. Kecuali dalam keadaan terpaksa.
              Fasal ke-6  dimulai dengan kutipan Surah al-Nahl ayat 90, “Inna`l-Lahu ya`muru bi`l-`adl wa’l-ihsan” – Sesungguhnya Allah ta`ala memerintahkan berbuat adil dan ihsan. Sikap adil ada dalam perbuatan, perkataan dan niat yang benar; sedangkan ihsan mengandung makna adanya kebajikan dan kearifan dalam perbuatan, perkataan dan pekerjaan. Raja yang adil merupakan rahmat Tuhan yang diberikan kepada masyarakat yang beriman, sedangkan raja yang dhalim sering merupakan hukuman dan laknat yang diturunkan kepada masyarakat yang aniaya dan bodoh. Hadis lain yang juga dikutip ialah: Raja yang tidak mencintai rakyatnya akan terhalang memasuki pintu syurga dan mengalami kesukaran meraih rahmat Allah.
            Merujuk pada buku Adab al-Mulk, Bukhari menyatakan ada tiga perkara utama yang membuat sebuah kerajaan runtuh: (1) Raja tidak memperoleh informasi yang benar dan rinci tentang keadaan negeri yang sebenar-benarnya, dan hanya menerima pendapat satu pihak atau golongan; (2) Raja melindungi orang jahat, keji, bebal, tamak dan pengisap rakyat; (3) Pegawai-pegawai raja senang menyampaikan berita bohong, menyebar fitnah, membuat intrik-intrik yang membuat timbulnya konflik.

Penulis-penulis Sastra Kitab
            Pada abad ke-17 M Aceh mengalami puncak kejayaannya sebagai pusat kegiatan politik dan perdagangan di Asia Tenggara. Kerajaan Islam terbesar di Nusantara ini menjelma sebagai kerajaan maritim yang tangguh dan sekaligus menjadi pusat penyebaran dan kegiatan intelektual Islam yang sangat berpengaruh. Sejumlah ulama besar, sastrawan dan sufi terkemuka yang pemikirannya sangat berpengaruh pada generasi cendekiawan Muslim abad-abad sesudahnya, muncul secara berkelanjutan dari sini. Suburnya penulisan sastra dan kitab keagamaan di Aceh terutama terjadi pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Ri`ayat Syah (1589-1604), Iskandar Muda (1607-1636) dan Iskandar Tsani (1637-1641). Selain Hamzah Fansuri dan Bukhari al-Jauhari, yang menulis pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Ri`ayat Syah sebagaimana telah disebutkan, tokoh terkemuka lain yang masyhur dalam penulisan karya sastra dan keagamaan ialah Syamsudin al-Sumatrani, Nuruddin al-Raniri dan Abdul Rauf Singkel.
            1. Syamsudin al-Sumatrani. Dia juga dikenal sebagai Syamsudin Pasai, adalah seorang ahli tasawuf dan penulis yang prolifik. Dia adalah penasehat utama Sultan Iskandar Muda di bidang keagamaan dan pemerintahan, bahkan pernah menjabat sebagai mufti istana dan perdana menteri. Ajaran Martabat Tujuh, suatu faham tasawuf wujudiyah yang diasaskan oleh Syekh Muhammad Fadlullah al-Burhanpuri di India pada akhir abad ke-16, dirumuskan sebagai bentuk tasawuf Nusantara yang populer oleh Syamsudin. Sumbangan tokoh ini terutama dalam penulisan sastra kitab, yaitu karya-karya membahas ilmu-ilmu keagamaan seperti fiqih, teologi dan tasawuf secara sistematis.
Dalamm hubungannya dengan sastra, peranan Syamsudin terutama tampak dalam upayanya untuk mengembangkan kritik sastra berdasarkan hermeneutika sufi yang biasa disebut ta`wil. Metode ini telah berkembang dalam tradisi intelektual Islam sejak abad ke-11 M. Karya Syamsudin mengenai ta`wil tampak dalam risalahnya  Syarah Ruba`i Hamzah Fansuri. Ta`wil adalah metode penafsiran sastra dengan melihat teks puisi sebagai ungkapan kata-kata simbolik dan metaforik yang maknanya berlapis-lapis (makna lahir, makna batin dan makna isyarah atau sugestif). Pemahaman mendalam hanya dapat timbul apabila seorang pembaca mampu menembus lubuk terdalam makna, yaitu gagasan dan pandangan dunia (Weltsanschauung) penulisnya. Konteks sejarah dan budaya penulis juga harus diketahui sebagai syarat pemahaman yang mendalam dan bermanfaat. Untuk puisi penyair sufi, simbolisme sufi juga perlu diketahui dan simbolisme tersebut berkaitan dengan kosmologi, ontologi, epistemologi dan psikologi sufi. Kata-kata dalam puisi adalah makna yang diturunkan dari makna-makna, sehingga banyak tafsir dibuat secara meluas oleh seorang yang berilmu.
            Syamsudin al-Sumatrani tidak banyak menulis puisi. Karya-karyanya terutama berupa risalah tasawuf yang tergolong sastra kitab. Di antaranya Mir`at al-Mu`minin (Cermin Orang Beriman), Mir`at al-Iman (Cermin Keimanan), Zikarat al-Dairati Qaba Qawsaini aw `Adna (Lingkaran Dua Busur Kehampiran Dengan Tuhan), Mir`at al-Muhaqqiqin (Cermin Penuntut Hakikat), Jawahir al-Haqa`iq (Mutiara Hakikat), Nur al- Daqa`iq,  Kitab al-Haraqah, dan lain-lain.
            Nilai estetik karya-karyanya tampak dalam kutipan berikut, yang menerangkan tentang kedudukan ruh manusia menurut pandangan faham wujudiyah:
            “Ada pun ruh al-qudus itu nyata pada hati sanubari, maka al-qudus itulah rupa sifat Allah (al-rahman dan al-rahim, pengasih dan penyayang, pen.), dan yaitulah cahaya yang indah-indah, tiada yang serupa dengan dia sesuatu jua pun. Dari karena itu ruh al-qudus itu menjadi khalifah Tuhan dalam tubuh insan, yang memerintahkan pada segala barang gerak dan dita dan barang sebagainya, tiada sesuatu daripadanya jua...” (T. Iskandar 1987).
Abdul Samad al-Falimbangi, sufi abad ke-18 dari Palembang, mengatakan dalam sebuah kitabnya  bahwa karya Syamsudin Pasai mengupas tasawuf seni yang tinggi sekali peringkatnya.
          
    2. Nuruddin al-Raniri. Dia adalah seorang ulama sufi, ahli fiqih (fuqaha) dan sastrawan terkemuka berasal dari Ranir, Gujarat, India.  Dalam sejarah intelektual Islam Nusantara dia dikenal sebagai pendebat ajaran wujudiyah Hamzah Fansuri dan Syamsudin Sumatrani.  Setelah Sultan Iskandar Tsani naik tahta, dia berlayar ke Aceh dan diterima menjadi ulama istana. Sebelumnya  dia pernah tinggal di Pahang, Malaysia dan menulois bukunya pertama dalam bahasa Melayu Sirat al-Mustaqim. Kitab ini merupakan kitab fiqih ibadah pertama dalam bahasa Melayu. Setelah Iskandar Tsani wafat, oleh penggantinya jabatan ulama istana diberikan kepada murid Syamsudin Sumatrani yaitu Syaif al-Rizal, yang merupakan lawan debat Nuruddin. Dia wafat pada tahun 1658 M. Karya Nuruddin al-Raniri lebih dari 40 buah. Di antaranya ialah Hill al-Zill,  Tybian fi ma`rifah al-adyan, Syaif al-Qulub, Hujjat al-Siddiq, Jauhar `Ulum, Kabar Akhirat dan Perikeadaan Hari Kiaamat, `Umdat al-I`tiqad, Hikayat Iskandar Zulkarnain Asrar al-Insan fi Ma`rifat al-Ruh wa al-Rahman,  dan lain-lain. Seperti Syamsudin, dia menulis dalam bahasa Melayu dan Arab. Dia mempelajari bahasa Melayu di Gujarat dan Mekkah ketika usianya masih muda.
            Karya Nuruddin al-Raniri yang paling terkenal ialah Bustan al-Salatin (Taman Raja-raja), yang ditulis dengan harapan dapat melengkapi kitab Taj al-Salatin yang dianggapnya belum lengkap.  Kitab ini merupakan gabungan sastra kitab, kenegaraan, eskatologi dan sejarah. Corak penulisan sejarah dalam kitab ini realistis, tidak menggunakan unsur mitos dan legenda. Pengaruh tasawuf sangat besar dalam penulisan kitab ini. Dalam bab III misalnya tercantum kisah kejadian Nur Muhammad, yang secara simbolik digambarkan sebagai mutiara berkilauan yang bersujud di hadapan Tuhan selama ribuan tahun.
            Bustan terdiri dari tujuh bab besar. Bab I menyatakan kejadian langit dan bumi, terdiri dari sepuluh fasal. Diuraikan di dalamnya bahwa sifat kejadian itu ada empat perkara ialah wadi, wahi, mani dan manikam. Keempatnya merupakan asal-usul air, angin, api dan tanah. Yang dinamakan tubuh jasmani ialah yang lengkap mengandung empat hal, yaitu kulit, daging, urat dan tulang. Setelah itu baru bergerak dan geraknya disebabkan adanya nafsu. Nafsu dibimbing oleh akal, budi, cita dan nyawa.
Bab II menyatakan kejadian Sifat Batin dan Nyawa Adam terdiri dari 13 fasal.  Fasal 1 menceritakan nabi-nabi dari Adam hingga Muhammad s.a.w. N Nyawa Adam terbit dari Nur Muhammad. Karena hakikat dari Adam ialah Nur Muhammad. Fasal 2-10 menceritakan raja-raja Persia, Byzantium, Mesir dan Arab. Fasal 11 menceritakan raja-raja Melaka dan Pahang. Fasal 13 menceritakan raja-raja Aceh dari Ali Mughayat Syah hingga Iskandar Tsani, ulama-ulama Aceh yang terkenal, Taman Ghairah dan Gegunungan yang terdapat dalam kompleks istana Aceh sebagai simbol kemegahan dari kesultanan Aceh, dan upacara pula batee (penanaman batu nisan Iskandar Tsani) oleh penggantinya, permaisuri almarhum Iskandar Tsani, yaitu Sultanah Taj al-Alam.
           Bab III menceritakan raja-raja yang adil dan wazir-wazir yang cerdik cendekia, terdiri dari 6 fasal. Bab IV menceritakan raja-raja yang gemar melakukan zuhud dan wali-wali sufi yang saleh. Bab ini terdiri dari 2 fasal. Fasal pertama antara lain menceritakan tokoh sufi yang masyhur, Sultan Ibrahim Adham. Bab V menceritakan raja-raja yang zalim dan wazir-wazir yang keji. Bab VI menceritakan orang-orang yang dermawan dan orang-orang besar pemberani dalam membela kebenaran. Juga diceritakan perjuangan tokoh-tokoh dalam melawan raja yang keji lagi durhaka. Bab VII menceritakan tentang akal, ilmu firasat, ilmu kedokteran dan segala sifat perempuan. Dalam bab-babnya Nuruddin kerap menyisipkan syair dan kisah-kisah ajaib. Nilai sastra Bustan al-Salatin tampak dalam uraian tentang Taman Gairah dan Gegunungan yang terletak di kompleks istana kesultanan Aceh, sebagai berikut:

             “Pada zaman bagindalah (Sultan Iskandar Tsani, pen.) diperbuat suatu bustan yang terlalu indah-indah, kira-kira seribu depa luasnya. Maka ditanaminya pelbagai bunga-bungaan dan aneka buah-buahan. Digelar baginda bustan itu Taman Ghairah... Sebermula di seberang sungai Dar al-`Isyqi itu dua buah kolam, suatu bergelar Jentera Rasa dan suatu bergelar Jantera Hati... Syahdan dari kanan Sungai Dar al-`Isyqi  itu suatu taman terlalu amat luas, kersiknya daripada batu pelinggam, bergelar Medan Hairani. Dan pada sama tengah itu sebuah  gunungan, di atasnya menara tempat semayam, bergelar Gegunungan Menara Pertama, tiangnya daripada tembaga dan atapnya daripada perak seperti sisik rumbia, puncaknya suasa.”

            Taman Gairah ini sebenarnya sudah ada sebelum Iskandar Tsani, namun sultan inilah yang memugarnya menjadi taman baru yang indah dan megah. Gegunungan yang disebutkan itu diperkirakan telah ada sejak abad ke-16 M. Dalam tradisi Islam, pembangunan taman dalam sebuah istana dikaitkan untuk menciptakan suasana seperti di dalam sorga. Taman-taman yang terdapat dalam istana kerajaan  Persia, Mughal, Arab, Andalusia dan lain-lain merupakan lambang kebesaran kerajaan-kerajaan bersangkutan. Ia harus ada sungai yang mengalir, pohon-pohon yang rindang dan lebat buahnya, aneka bunga-bungaan yang indah dan harum semerbak baunya, seperti gambaran yang diberikan al-Qur’an tentang sorga. Dalam tradisi Islam pula, istana sebagai pusat sebuah kerajaan harus merupakan dunia yang lengkap dan sempurna, yang diambangkan dengan adanya taman yang luas, indah dan lengkap isinya. Ada pun fungsinya bukan sekadar untuk tempat bersenang-senang, seperti bercengkrama dengan permaisuri atau putri-putri istana bermain-main. Taman dalam istana kerajaan Islam punya beberapa fungsi khusus seperti tempat sultan menerima pelajaran tasawuf dari guru keruhaniannya dan juga tempat sultan menjamu tam agung dari kerajaan lain.
            Kesempurnaan dan keindahan taman dilukiskan oleh Nuruddin al-Raniri sebagai berikut: “Dan di tengah taman itu ada sebuah sungai disebut Dar al-`Isyqi, penuh dengan batu-batu permata; airnya jernih dan sejuk sekali, dan barang siapa meminum airnya akan menjadi segar tubuhnya dan sehat.” Air  adalah lambang kehidupan dan penyucian diri, pembaruan dan pencerahan.

            3. Abdul Rauf al-Sinkil. Abdul Rauf Singkel atau al-Sinkili adalah ulama Aceh yang masyhur pada penghujung abad ke-17 M. Dia adalah seorang penulis yang prolifik. Karya-karyanya ditulis dalam bahasa Melayu dan Arab. Dia sering juga dikenal sebagai Abdul Rauf al-Fansuri dan mempunyai hubungan keluarga dengan Hamzah Fansuri. Setelah lama tinggal di Mekkah, sekitar tahun 1640 dia pulang ke Aceh menggantikan peranan Nuruddin al-Raniri yang telah tiga tahun meninggalkan Aceh. Dia seorang penulis yang prolifik. Mir`at al-Tullab merupakan kitab syariah pertama yang isinya lengkap dalam pustaka Islam Melayu. Dia juga merintis penulisan tafsir al-Qur’an. Karyanya di bidang iniyang terkenal ialah Tarjuman al-Mustafid.
            Karya-karya lain yang penting dari Abdul Rauf Singkel ialah Idhah al-Bayan fi Tauhid Masail A`yani, `Umdat alMuhtajina fi Suluk Maslak al-Mufarradina, Ta`bir al-Bayan, Daqa`iq al-Huruf, Majmu` al-Mas`il, Sakrat a-Maut, dan lain-lain. Jika pamannya Hamzah Fansuri adalah pengikut Tariqat Qadiriyah, Abdul Rauf adalah pengikut Tariqat Syatariyah. Sebagai ahlu tasawuf, Abdul Rauf juga menulis beberapa syair tasawuf, namun syair-syairnya itu tidak begitu dikenal. Di antara syairnya yang dijumpai ialah Syair Ma`rifat. Karya-karyanya yang sebagian besar tergolong ke dalam sastra kitab dibicarakan dalam bab lain dalam buku ini
            Syekh Abdul Rauf adalah ulama besar yang mempunyai banyak murid. Di antaranya yang terkenal ialah Syekh Jamaluddin al-Tursani dan Syekh Yusuf Mengkasari. Jamaluddin al-Tursani terkenal karena dalam bukunya Syafinat al-Hukkam  memperbolehkan wanita menjadi pemimpin atau raja. Ada pun Yusuf Mengkasari (w. 1799)  adalah seorang ulama yang pernah berjuang melawan kolonialisme Belanda bersama Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten. Dia dibuang ke Afrika Selatan, tetapi aktivitasnya sebagai ulama, pendakwah dan penulis kitab yang prolifik berlanjut hingga akhir hayatnya di tempat pengasingannya. Karyanya tidak kurang 30 buah dalam bahasa Arab dan Melayu, antara lain ialah al-Naftahu al-Sailaniya, Zubdatu al-Asrar, Qurrat al-`Ain, Syurut al-`Arifin al-Muhaqqiq dan Taj al-Asrar.
Seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin Pasai, Nuruddin al-Raniri dan gurunya Abdul Rauf Singkel, Yusuf Mengkasari menganut faham wujudiyah. Hanya saja cara menguraikan fahamnya itu berbeda dari keempat tokoh yang telah disebutkan. Menurut Yusuf Mengkasari yang disebut Nur Muhammad atau Hakikat al-Muhammadiyah ialah wadah dari manifestasi sifat-sifat dan pekerjaan Tuhan. Nur Muhammad mempunyai dimensi ganda. Pertama, sebagai asas penciptaan alam semesta. Kedua, sebagai hakikat sejati dari Diri Manusia. Uraiannya yang menarik ialah tentang kiblat manusia, yang menurutnya ada tiga: Kiblat Amal, Kibal Ilmu dan Kiblat Rahasia. Kiblat amal ialah Ka`bah dan Masjid al-Haram di Mekkah. Ia merupakan tempat orang beriman menghadapkan wajah pada waktu salat. Kiblat ilmu ialah seperti disebutkan al-Qur’an, Kemana pun kau memandang akan tampak wajah Allah. Ia merupakan kiblat ahli makrifat. Kiblat rahasia ialah seluruh alam semesta yang di dalamnya terbentang ayat-ayat-Nya.

(September 2005)



[1]

[2] Empat manuskrip itu ialah Cod. Or. Leiden 2016 (31 ikat-ikatan); Cod. Or. Leiden 3372 (15 ikat-ikatan); Cod. Or. Leiden 3374 (8 ikat-ikatan); dan Naskah Jakarta atau Jak. Mal. 83 (30 ikat-ikatan). Lihat Abdul Hadi W. M. Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap Karya-karya Hamzah fansuri (Jakarta: Paramadina, 2001:198).

0 komentar:

Posting Komentar