TRAGEDI KARBALA
DALAM HIKAYAT MELAYU
Abdul Hadi W. M.
Dalam sastra Melayu ada dua versi awal tentang tragedi Karbala atau
kesyahidan Sayidina Husein. Versi pertama yang disebut Hikayat Sayidina Husen ditulis di Aceh pada abad ke-17 M dan versi kedua dikenal sebagai Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah. Yang
disebut terakhiir ini ditulis atau disadur ke dalam bahasa Melayu pada
abad ke-15 M pada zaman kejayaan Samudra Pasai (1270-1516 M) dan Malaka
(1400-1511 M). Sumber teksnya ialah hikayat Parsi abad ke-12 M, Teks ini
seperti telah diketahui mengisahkan kepahlawan Husein yang tewas
mengenaskan di padang Karbala, Iraq.
Versi kedua lebih relevan
dibahas, karena dari versi inilah lahir hikayat Sayidina Husein dalam
berbagai versi dalam bahasa-bahasa daerah di Nusantara. Kisha-kisah yang
bertalian dengan tragedi Karbala di dalam sastra Jawa, Minangkabau,
Sunda, Aceh, Banjar, Madura, Sasak, dan lain-lain bersumber dari Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah.
Ringkasan
ceritanya sebagai berikut: ”Ketika Ali dipilih menjadi khalifah ke-4
setelah terbunuhnya Usman bin Affan, Mu’awiya -- keponakan Usman yang
menjabat sebagai gubernur Damaskus – menentang keputusan itu. Dia
merancang untuk membunuh Ali. Perang berkobar antara pengikut Ali dan
Mu’awiya. Keduanya memiliki kekuatan yang seimbang. Bahkan dalam
pertempuran yang menentukan pasukan Ali berada di atas angin. Tetapi
melalui cara yang licik, Mu’awiya menawarkan perundingan. Dalam
perundingan diputuskan untuk mengadakan tahkim, yaitu melalui
sebuah pemilihan yang dilakukan oleh beberapa hakim yang ditunjuk oleh
masing-masing pihak. Tahkim memutuskan Mu’awiya berhak menjabat khalifa
dan sejak itu resmilah Dinasti Umayya memerintah kekhalifatan Islam.
Pemerintahan Umayyah berlangsung antara tahun 662 hingga 749 M. Tidak
lama setelah itu Ali dibunuh di Kufa dan para pengikutnya terus
melancarkan berbagai pembrontakan terhadap Umayya.
Pada
masa pemerintahan Yazid, pengganti Mu’awiya, timbul pula pembrontakan
yang menewaskan Hasan dan Husein. Muhammad Hanafiya bangkit dan
mengumpulkan pasukan, kemudian melancarkan peperangan menentang Yazid.
Dalam sebuah pertempuran yang menentukan Yazid terbunuh secara
mengerikan, yaitu jatuh ke dalam danau yang penuh kobaran api. Setelah
itu Muhammad Hanafiya menobatkan putra Husan, Zainal Abidin menjabat
sebagai imam. Ketika itu dia mendengar kabar bahwa bahwa tentara musuh
sedang berhimpun dalam sebuah gua. Dia pun pergi ke tempat itu untuk
memerangi mereka. Ketika dia masuk ke dalam gua, dia mendengar suara
ghaib yang memerintahkan agar dia jangan masuk ke dalam gua. Tetapi dia
tidak menghiraukan seruan itu. Dia terus saja membunuh musuh-musuhnya.
Tiba-tiba pintu gua tertutup dan dia tidak bisa keluar lagi dari
dalamnya.”
Teks awal hikayat muncul pada peralihan
abad ke-12 – 13 M, ketika wilayah Parsi berada di bawah kekuasan Sultan
Mahmud dari dinasti Ghaznawi. Petunjuknya tampak pada ola cerita dan
gayanya yang memiliki banyak kemiripan dengan Shah-namah, epos Parsi masyhur karangan Firdawsi yang usai ditulis pada tahun 1010 M. Deskripsi dalam Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah yang mirip dengan Shah-namah antara lain ialah deskripsi tentang peperangan antara pasukan Muhamad Ali Hanafiyah dengan Yazid (Brakel 1975, Browne 1976).
Bukti
lain ialah adanya petikan sajak Sa’di dalam hikayat ini, yaitu pada
bagian II versi Melayu hal 338-340) dan disebutnya Tabriz sebagai kota
penting di Iran. Sa’di adalah penyair yang hidup antara tahun 1213 –
1292 M. Dengan demikian ia mengalami dua zaman pemerintahan yaitu zaman
pemerintahan Dinasti Ghaznawi dan zaman raja-raja Ilkhan Mongol yang
menguaai Parsi pada tahun 1222 M. Sajak Sa’di yang dikutip itu sendiri
merupakan sindiran terhadap Sultan Mahmud al-Ghaznawi. Di lain hal
Tabriz baru menjadi kota penting di Iran pada zaman pemerintahan Sultan
Ghazan (1295-1304 M) yang menjadikannya sebagai kerajaan Ilkhan Mongol
di Parsi. Teks Melayu juga menyebut pentingnya kota Sabzavar, padahal
kota ini baru menjadi kota penting Syiah pada pertengahan abad ke-14 M.
Hikayat
ini sebenarnya didasarkan atas peperangan yang dilakukan al-Mukhtar,
pemimpin sekte Kaisaniyah, melawan Yazid dengan tujuan menuntut bela
atas kematian Amir Husein. Dengan dibantu oleh panglima perangnya
Ibrahim al-Asytur dia mengangkat Muhammad Ali Hanafiyah sebagai imam
pengganti Husein. Pada mulanya kisah ini bersifat legenda, namun
kemudian dikembangkan menjadi sebuah roman sejarah (Ali Ahmad 1996).
Bentuk asli hikayat tentang kesyahidan Husein termasuk ke dalam genre maqtal, yaitu
jenis sastra yang khusus memaparkan kesyahidan Imam Ali, Hasan dan
Husein. Di dalamnya terpadu unsur elegi dan tragedi. Hikayat seperti ini
di Parsi biasa dibacakan dengan didramatisasikan pada perayaan 10
Muharam. Versi Melayu mengurangi unsur tragedinya dan merubahnya menjadi
roman sejarah dengan unsur epik yang kuat. Versi Jawa, Sunda, dan
Madura digubah dalam bentuk tembang macapat (puisi), yang dibacakan dengan lagu khas di majelis-majelis pada malam di hari Asura.
Sekalipun unsur tragedi dikurangi, namun unsur elegi masih kuat. Bahkan
dalam versi Melayu banyak episode menyangkut gugurnya Husein dan
kesedihan yang menyelimuti hati karib kerabatnya digarap lebih rinci.
Kesedihan karib kerabat dan keluarga setelah mendengar gugurnya Husein
dilukiskan seperti berikut: “Adapun Amir Husein syahid pada sepuluh hari
bulan Muharam, harinya pun hari Jumat, maka Amir Husein pada ketika itu
jua jadi akan penghuni syurga seperti kaul ‘Inna’s-saffa mahallu ‘dunubi!’ ...
Maka kemudian segala isi rumah Rasulullah berkabung serta
menampar-nampar dadanya dan merenggut-renggut rambutnya dengan tangisnya
dan heriknya, demikian bunyi tangisnya, ‘Wah kasihan kami!Wah kesakitan
kami! Wah sesal kami! Wah Muhammad kami! Wah Ali kami! Wah Fatimah
kami! Wah Hasan kami! Wah Husein kami! Wah Kasim kami. Wah Ali Akbar
kami!’ Maka isi rumah Rasulullah tiadalah sadar diri. Pada ketika Amir
Husein syahid seakan Arasy Allah dan Kursi gemetaran, bulan dan matahari
pun redup, tujuh hari tujuh malam lamanya segala alam pun seolah kelam
kabut, karena Amir Husein terbunuh, peninggalan Nabi Allah dan
lihat-lihatan daripada Rasulullah, seorang cucunya, Amir Hasan
dibunuhnya dengan racun, seorang lagi cucunya dibunuh segala munafik
dengan senjata, kepalanya diperceraikan orang. Demikianlah halnya
disembelih orang zalim, supaya kita ketahui, hidup dalam dunia tiadalah
kekal...”
Versi Melayu hikayat ini sebenarnya merupakan kompilasi sejumlah hikayat yang berbeda jenisnya seperti Hikayat Kejadian Nur Muhammad, Hikayat Hasan dan Husein, dan Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah sendiri.
Legenda dilebur dengan peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi sejak
masa awal kenabian Rasulullah sampai peperangan yang dicetuskan Muhammad
Ali Hanafiyah menentang Yazid bin Muawiyah.
Salinan
teks Parsi yang dijadikan sumber teks Melayu ditemukan naskah salinannya
di British Museum (Ms Add 8149). Menurut Rieu (Brakel 1975) naskah itu
ditulis dalam huruf Nastaliq di Murshidabad, Bengal, India pada tahun
1721 M. Jadi masih pada zaman pemerintahan Dinasti Mughal, yang hingga
awal abad ke-19 M menjadikan bahasa Parsi sebagai bahasa utama kaum
terpelajar di Indo-Pakistan. Naskah Bengal terdiri dari dua bagian.
Bagian pertama memaparkan riwayat hidup Amirul Mukminin Hasan dan Husein
sejak masa kelahiran hingga wafat mereka. Bagian kedua memapakarkan
hikayat Muhammad Ali Hanafiyah sejak kematian Husein saudaranya sampai
pembebasan putra Husein yaitu Zainal Abidin dan ditemukannya mayat Yazid
dalam sebuah perigi.
Versi Melayu terdiri dari tiga
bagian: Bagian pertama berupa pengantar, memaparkan riwayat Nabi
Muhammad s.a.w. sampai masa awal kerasulan beliau. Sebagian dari bagian
ini didasarkan atas Hikayat Kejadian Nur Muhammad yang populer di
Nusantara. Bagian kedua terdiri dari tiga episode, yaitu kisah Hasan
dan Husein ketika masih kanak-kanak, riwayat hidup tiga khalifah
al-rasyidin yaitu Abu Bakar Siddiq, Umar bin Khattab dan Usman bin Affan
beserta karib kerabatnya, kemudian paparan riwayat hidup Ali bin Abi
Thalib, dan terakhir kematian Hasan dan gugurnya Husein di padang
Kerbela. Bagian ketiga, peperangan yang dicetuskan Muhammad Ali
Hanafiyah sampai tewasnya Yazid dan raibnya Muhammad Ali Hanafiyah yang
terperangkap dalam sebuah gua.
Jika dibaca dengan
seksama, menurut Brakel, tampak bahwa banyak bagian dalam versi Melayu
merupakan terjemahan langsung dari sumber Parsi, namun membawa makna
yang berlainan. Misalnya pada bagian ketiga, terdapat kalimat dalam teks
Melayu: “Maka segala hafiz pun mengaji al-Qur’an dan segala lasykar pun
dzikr Allah”. Teks Parsinya: “wa hamaye yaran o baradaran dar zekr o fekr dar-amadand”. (Semua
saudara dan teman memasuki pekuburan seraya mengingat yang wafat dan
memikirkannya). Teks Melayu bernuansa kesufian, tampak dalam memberi
makna terhadap kata-kata zikir.
Pada bagian kedua teks Parsi yang menyajikan perkataan Syahrbanum kepada Yazid tertulis kalimat: “Xak bar dar dahane to”
(Telanlah bumi oleh mulutmu!). Dalam teks Melayu berubah makna, “Tanah
itu masukkan ke dalam mulutmu!”. Ketika Utbah melapor kepada Yazid,
kata-katanya dalam teks Parsi ditulis: “Man ham az bine mardanegiye isan gerixte amadim” (Kau
telah bebas dari rasa takut disebabkan keberanian mereka). Teks Melayu:
“Adapun kami dengan gagah berani, maka kami dapat melepas diri kami”.
Episode Husein dan pengikutnya yang kehausan setibanya di Kerbela tidak
dijumpai dalam teks Parsi. Episode ini diambil oleh penulis Melayu dari
epos Islam lain yang juga masyhur yaitu Hikayat Iskandar Zulkarnaen. Dalam
teks Melayu, kaum Aliyun disebut sebagai Ahlul Sunnah juga, sedangkan
lawan mereka yaitu kaum Khawarij dan Umayyah dipandang sebagai kaum
munafik. Karakter Muhammad Ali Hanafiyah sebagai tokoh epos digambarkan
mirip dengan tokoh historis abad ke-8 M bernama Abu Muslim, yang
mengangkat senjata melawan pasukan Abbasiyah di Khurasan. Ketika itu
pasukan Bani Abbasiyah yang pada mulanya didukung kaum Aliyun mulai
memperoleh kemenangan atas pasukan Bani Umayyah. Ketika itulah Abu
Muslim mulai ditinggalkan, sehingga balik menentang Abbasiyah. Adapun
deskripsi peperangan dalam hikayat tersebut tidak sedikit yang diilhami
oleh deskripsi dalam epos Shahnamah karangan Firdawsi.
Sumber
Selasa, 18 November 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar