BARUS, KOTA TEMPAT LAHIR
SYEKH HAMZAH FANSURI
Abdul Hadi W. M.
Barus di pantai barat Sumatra, enam puluh kilometer di barat daya Sibolga dan sekitar tujuh puluh kilometer di timur laut kota Singkil, adalah sebuah kota kecamatan yang sunyi dan terpencil sekarang ini. Namun pada masa-masa kejayaannya sebelum abad ke-17, kota ini masyhur sebagai pelabuhan yang ramai disinggahi kapal-kapal dagang asing – terutama dari Cina, India, Arab, Persia, Turki dan Portugis – selama berabad-abad. Sumber tertua mengenai Barus kita dengar dari catatan Ptolomeus, ahli geografi Yunani pada abad ke-2 SM. Menurut Ptolomeus, kapal-kapal Athena telah singgah di sini sepanjang abad ke-4 dan 3 SM, begitu pula kapal-kapal Fir'aun dari Mesir untuk membeli kapur barus atau kamfer, bahan yang diperlukan untuk membuat mummi.
Namun sebagai pelabuhan dagang kota ini baru mencapai kemakmuran pada abad ke-7 tidak lama setelah berdirinya kerajaan Sriwijaya. Sumber Cina menyebut Sriwijaya dan Barus sebagai kerajaan kembar. Bahkan I Ching, musafir Cina yang berkunjung ke Sumatra pada abad ke-7 mengatakan bahwa kota ini merupakan pusat penyebaran aliran Mulasarvastivada, sebuah madzab dalam Budhha Mahayana yang banyak diikuti penduduk Sriwijaya. Tetapi pada abad ke-9 M pedagang-pedagang Arab dan Persia, kemudan Turki, mulai ramai berdatangan ke Barus untuk memperoleh emas, lada, kapur barus, dan lain-lain. Kapur dan lada yang dihasilkan di daerah ini terkenal tinggi mutunya dan merupakan bahan perniagaan penting pada masa itu (Drakard 1989). Sudah pasti mereka tinggal agak lama di situ, karena pelayaran ke negeri asal mereka sangat jauh dan harus pula menunggu musim yang baik untuk berlayar. Mereka lantas kawin mawin dengan wanita setempat sehingga terbentuklah komunitas Muslim yang signifikan disitu.
Sebelum nama Barus dikenal, kota ini diberi nama Fansur (Panchur) oleh orang-orang Mandailing dan Batak yang tinggal di sekitarnya. Sebelum suku-suku yang tinggal di sini memeluk agama Islam, dan kemudian Kristen, mereka itu dikenal karena kepandaiannya dalam ilmu sihir. Dalam bahasa Mandailing atau Batak, perkataan Pancur berarti 'mata air', dan berdasarkan nama ini orang Arab menyebutnya Fansur. Nama Barus diberikan kemudian oleh orang-orang Melayu yang berduyun-duyun pindah ke tempat ini dan kemudian bercampur baur dengan penduduk asal sehingga terbentuklah suku Mandailing yang beragama Islam. Nama Barus itu diberikan mengikuti nama sungai yang biasa dilalui oleh orang-orang Melayu untuk mencapai tempat ini (Braginsky 2003:79).
Bukti-bukti arkeologis belakangan juga telah ditemukan bahwa sebelum munculnya kerajaan-kerajaan Islam yang awal di Sumatra seperti Peurlak dan Samudra Pasai,yaitu sekitar abad ke-9 dan 10 M, di Barus telah terdapat kelompok-kelompok masyarakat Muslim Nusantara dalam jumlah yang besar, terdiri dari saudagar-saudagar asing dan keturunan mereka dari perkawinan mereka dengan wanita-wanita pribumi (Dada Meuraxa 1987). Prapanca, pujangga Majapahit abad ke-14, dalam Nagara Kertagama mengatakan bahwa Barus merupakan negeri Melayu yang penting di Sumatra, yang berhasil dijadikan taklukan Majapahit (Slamet Mulyana 1960)
Melalui keterangan Prapanca itu,tampak bahwa kota ini telah mempunyai hubungan politik dan dagang dengan kerajaan-kerajaan Hindu di Jawa pada abad-abad sebelumnya. Seperti kota-kota pelabuhan Melayu lain, Barus ketika itu merupakan pusat perdagangan transito dan pertukaran barang-barang niagaan yang dibawa dari negeri Arab, Persia,India dan Cina. Braginsky (2003:77-8) menemukan keterangan tentang Barus dalam Kitab Seribu Satu Malam (abad ke-11), yaitu pada bagian kisah mengenai Sinbad SiPelaut. Sinbad yang mendarat di Barus menceritakan tentang tempat ini sebagai berikut:
"Maka mereka (saudagar- saudagar;VB) bermalam di sebuah tempat
yang indah- indah dan selamat, dan aku pun bermalam bersama mereka,
dan hatiku terlalu senang sebab aku terbebas dari lembah ular lalu sampai di negeri (yang dihuni) manusia. Dan waktu hari sudah siang kami bangun dan berjalan di gunung yang besar itu, dan melihat ular yang banyak. Dan kami berjalan sehingga sampai di sebuah taman dipulau yang besar dan indah, maka di taman itu tumbuh pohon-pohon kapur barus,dan setiap satu daripadanya dapat memberi tempat berteduh kepada seratus orang.Maka jika ada orang yang mau mendapat kapur barus, ia pun mengorek lubang dipucuk sebatang pohon dengan sebuah alat yang panjang, lalu mengumpulkan apa (butir-butir kristal; AH) yang menetes dari lubang itu, lantas melelehlah air kapur barus dan mengental bagaikan perekat – neginilah air pohon kapur – dan kemudian pohon itu kering saja dan dipakai sebagai kayu api."
Seorang penulis Arab terkenal Sulayman al-Muhri juga mengunjungi Barus pada awal abad ke-16 dan menulis dalam bukunya Al-'Umdat al-Muhriya fi Dabt al-'Ulum al-Najamiyah (1511) bahwaBarus merupakan tujuan utama pelayaran orang-orang Arab, Persia dan India. Ia merupakan sebuah pelabuhan yang terkemuka di pantai barat Sumatra ( (Tibbets1979:233)). Pada pertengahan abad ke-16 seorang ahli sejarah Turki bernama Sidi'Ali Syalabi juga berkunjung ke Barus dan melaporkan bahwa kota ini merupakan pelabuhan utama di Sumatra (Brakel 1979). Seorang musafir Portugis, Tome Pires juga telah melawat Barus dan dalam catatan perjalanannya Suma Oriental dia menyatakan:
"Sekarang tiba masanya berbicara tentang kerajaan Barus yang kaya dan makmur, yang juga disebut Pancur atau Pansur. Orang-orang dari Gujarat menyebutnya Panchur, dan begitu pula halnya orang Persia, Arab, Keling, Bengali, dan lain-lain. Orang-orang Sumatra (Melayu) menyebutnya Baros atau Barus. Ia merupakan sebuah kerajaan, bukan dua. Berbatasan dengan Tiku di satu pihak dan batas lain Ialah wilayah kerajaan Singkil; pedalaman daerah itu berhubungan dengan daerah Minangkabau dan di hadapannya di tengah laut terletak pulau Nias...Kerajaan ini merupakan pusat perniagaan di pulau Sumatra, oleh sebab ia pelabuhan tempat emas dijual dan dibawa, dan juga sutra, benzoin, barus dalam jumlah besar...madu dan barang-barang niaga lain yang amat banyak terdapat di situ melebihi di tempat lain...dan semua pedagang berkumpul di negeri ini.
(Cartesao 1944:161-2)
Sebuah misi dagang Portugis melaporkan bahwa pada akhir abad ke-16 Barus masih merupakan pelabuhan dagang yang besar dan ramai. Di sini benzoin putih bermutu tinggi didapatkan dalam jumlah besar, begitu pula kamfer, kayu cendana dan gaharu, asam kawak, jahe, kasia, kayu manis, timah, pensil hitam, serta sulfur yang banyak dibeli pedagang-pedagang Turki dan Arab untuk dijual di Kairo dan kota-kota Arab lain. Emas juga didapatkan di situ dan biasanya dibawa ke Mekkah oleh para pedagang dari Minangkabau, Siak, Indragiri, Jambi, Kampar, Pedir dan Lampung (Teensma 1989).
Sebagai kota dagang yang ramai disinggapi pedagang-pedagang Muslim, sudah pasti Barus menjelma pula sebagai pusat pendidikan Islam dan kegiatan tariqat sufi. Pada abad ke-13, terutama setelah jatuhnya kekhalifatan Baghdad ke tangan bangsa Mongol, para sufi (ahli tasawuf) semakin memainkan peranan penting dalam penyebaran agama Islam, khususnya di India dan Asia Tenggara. Mereka menjalin kerjasama dengan organisasi-organisasi dagang yang mempunyai jaringan internasional yang luas diseantero negeri, dan membentuk ta'ifa, semacam organisasi sosial keagamaan yang mempunyai kegiatan ekonomi dan perdagangan, serta mendirikan lembaga-lembaga pendidikan Islam dan tempat latihan-latihan kerohanian bagi para pengkut tariqat mereka (John 1961). Dalam berdakwah para sufi ini menggunakan bahasa lokal dan budaya lokal. Lambat laun mereka menjadi perintis kegiatan penulisan kitab keagamaan, keilmuan dan sastra di negeri-negeri yang masyarakat Muslimnya sudah berkembang (Nasr 1985).
Karena itu tidak mengherankan apabila pada abad ke-16 di Barus berkembang pula lembaga-lembaga pendidikan Islam dan lembaga pendidikan pada masa itu, yangbiasa disebut dayah atau pesantren di Melayu, merupakan salah satu pusat utama kegiatan penulisan kitab keagamaan dan sastra. Sebagai tempat yang telah lamamenjadi pusat kegiatan pendidikan, sudah pasti tradisi sastra tertulis juga sudah lama berkembang di wilayah Barus dan sekitarnya sehingga memungkinkan munculnya seorang penyair besar seperti Hamzah Fansuri, diikuti oleh murid-muridnya yang sebagian dari karya-karya mereka disalin kembali pada akhir abad ke-17 atau awal abad ke-18 seperti termuat dalam MS Leiden Cod. Or. 2016. (Abdul Hadi W. M. 2001)
Namun nasib kota ini sangatlah menyedihkan pada abad ke-17. Ia mengalami kemunduran sebagai kota dagang setelah dimasukkan ke dalam wilayah kesultanan Aceh oleh Sultan Iskandar Muda(1607-1637). Sultan ini memperkecil peranan Barus sebagai pusat perdagangan maupun sebagai kegiatan kebudayaan Melayu (Lombard 1986:111-2). Pada tahun 1650 Barus menjadi korban gempa bumi dan tsunami yang dahsyat sehingga kegemilangannya tenggelam. Pada awal abad ke-18 kota tersebut telah berubah menjadi sebuah pekan kecil yang sunyi yang dihuni nelayan-nelayan kecil.Valentijn, seorang sarjana Belanda yang berkunjung ke Barus pada tahun 1706,menulis dalam bukunya seperti berikut:
"Seorang penyair Melayu, Hamzah Pansur...yakni seorang yang sangat terkemuka di lingkungan orang-orang Melayu oleh karena syair dan puisi-puisinya yang menakjubkan, membuat kita karib lagi dengan kota tempat lahir sang penyair, apabila dalam puisi-puisinya yang agung itu dia mengangkat naik dari timbunan debu kebesaran dan kemegahan masa lampau kota itu dan mencipta kembali masa-masa gemilang dari kebesarannya" (Teeuw 1966)
Meskipun pada abad ke-18 kota ini telah menjelma jadi pekan kecil yang sunyi, namun kegiatan penulisan sastra Melayu tampaknya masih berjalan. Keterangan Valentijn memberi kesan demikian, teks yang dijadikan bahan penelitian Doorenbos dalam disertasi doktornya "De Geschriften van HamzahPantsoeri" adalah teks dalam naskah yang disalin di Barus, tidak lama sebelum Valentijn mengunjungi negeri itu.
SYEKH HAMZAH FANSURI
Abdul Hadi W. M.
Barus di pantai barat Sumatra, enam puluh kilometer di barat daya Sibolga dan sekitar tujuh puluh kilometer di timur laut kota Singkil, adalah sebuah kota kecamatan yang sunyi dan terpencil sekarang ini. Namun pada masa-masa kejayaannya sebelum abad ke-17, kota ini masyhur sebagai pelabuhan yang ramai disinggahi kapal-kapal dagang asing – terutama dari Cina, India, Arab, Persia, Turki dan Portugis – selama berabad-abad. Sumber tertua mengenai Barus kita dengar dari catatan Ptolomeus, ahli geografi Yunani pada abad ke-2 SM. Menurut Ptolomeus, kapal-kapal Athena telah singgah di sini sepanjang abad ke-4 dan 3 SM, begitu pula kapal-kapal Fir'aun dari Mesir untuk membeli kapur barus atau kamfer, bahan yang diperlukan untuk membuat mummi.
Namun sebagai pelabuhan dagang kota ini baru mencapai kemakmuran pada abad ke-7 tidak lama setelah berdirinya kerajaan Sriwijaya. Sumber Cina menyebut Sriwijaya dan Barus sebagai kerajaan kembar. Bahkan I Ching, musafir Cina yang berkunjung ke Sumatra pada abad ke-7 mengatakan bahwa kota ini merupakan pusat penyebaran aliran Mulasarvastivada, sebuah madzab dalam Budhha Mahayana yang banyak diikuti penduduk Sriwijaya. Tetapi pada abad ke-9 M pedagang-pedagang Arab dan Persia, kemudan Turki, mulai ramai berdatangan ke Barus untuk memperoleh emas, lada, kapur barus, dan lain-lain. Kapur dan lada yang dihasilkan di daerah ini terkenal tinggi mutunya dan merupakan bahan perniagaan penting pada masa itu (Drakard 1989). Sudah pasti mereka tinggal agak lama di situ, karena pelayaran ke negeri asal mereka sangat jauh dan harus pula menunggu musim yang baik untuk berlayar. Mereka lantas kawin mawin dengan wanita setempat sehingga terbentuklah komunitas Muslim yang signifikan disitu.
Sebelum nama Barus dikenal, kota ini diberi nama Fansur (Panchur) oleh orang-orang Mandailing dan Batak yang tinggal di sekitarnya. Sebelum suku-suku yang tinggal di sini memeluk agama Islam, dan kemudian Kristen, mereka itu dikenal karena kepandaiannya dalam ilmu sihir. Dalam bahasa Mandailing atau Batak, perkataan Pancur berarti 'mata air', dan berdasarkan nama ini orang Arab menyebutnya Fansur. Nama Barus diberikan kemudian oleh orang-orang Melayu yang berduyun-duyun pindah ke tempat ini dan kemudian bercampur baur dengan penduduk asal sehingga terbentuklah suku Mandailing yang beragama Islam. Nama Barus itu diberikan mengikuti nama sungai yang biasa dilalui oleh orang-orang Melayu untuk mencapai tempat ini (Braginsky 2003:79).
Bukti-bukti arkeologis belakangan juga telah ditemukan bahwa sebelum munculnya kerajaan-kerajaan Islam yang awal di Sumatra seperti Peurlak dan Samudra Pasai,yaitu sekitar abad ke-9 dan 10 M, di Barus telah terdapat kelompok-kelompok masyarakat Muslim Nusantara dalam jumlah yang besar, terdiri dari saudagar-saudagar asing dan keturunan mereka dari perkawinan mereka dengan wanita-wanita pribumi (Dada Meuraxa 1987). Prapanca, pujangga Majapahit abad ke-14, dalam Nagara Kertagama mengatakan bahwa Barus merupakan negeri Melayu yang penting di Sumatra, yang berhasil dijadikan taklukan Majapahit (Slamet Mulyana 1960)
Melalui keterangan Prapanca itu,tampak bahwa kota ini telah mempunyai hubungan politik dan dagang dengan kerajaan-kerajaan Hindu di Jawa pada abad-abad sebelumnya. Seperti kota-kota pelabuhan Melayu lain, Barus ketika itu merupakan pusat perdagangan transito dan pertukaran barang-barang niagaan yang dibawa dari negeri Arab, Persia,India dan Cina. Braginsky (2003:77-8) menemukan keterangan tentang Barus dalam Kitab Seribu Satu Malam (abad ke-11), yaitu pada bagian kisah mengenai Sinbad SiPelaut. Sinbad yang mendarat di Barus menceritakan tentang tempat ini sebagai berikut:
"Maka mereka (saudagar- saudagar;VB) bermalam di sebuah tempat
yang indah- indah dan selamat, dan aku pun bermalam bersama mereka,
dan hatiku terlalu senang sebab aku terbebas dari lembah ular lalu sampai di negeri (yang dihuni) manusia. Dan waktu hari sudah siang kami bangun dan berjalan di gunung yang besar itu, dan melihat ular yang banyak. Dan kami berjalan sehingga sampai di sebuah taman dipulau yang besar dan indah, maka di taman itu tumbuh pohon-pohon kapur barus,dan setiap satu daripadanya dapat memberi tempat berteduh kepada seratus orang.Maka jika ada orang yang mau mendapat kapur barus, ia pun mengorek lubang dipucuk sebatang pohon dengan sebuah alat yang panjang, lalu mengumpulkan apa (butir-butir kristal; AH) yang menetes dari lubang itu, lantas melelehlah air kapur barus dan mengental bagaikan perekat – neginilah air pohon kapur – dan kemudian pohon itu kering saja dan dipakai sebagai kayu api."
Seorang penulis Arab terkenal Sulayman al-Muhri juga mengunjungi Barus pada awal abad ke-16 dan menulis dalam bukunya Al-'Umdat al-Muhriya fi Dabt al-'Ulum al-Najamiyah (1511) bahwaBarus merupakan tujuan utama pelayaran orang-orang Arab, Persia dan India. Ia merupakan sebuah pelabuhan yang terkemuka di pantai barat Sumatra ( (Tibbets1979:233)). Pada pertengahan abad ke-16 seorang ahli sejarah Turki bernama Sidi'Ali Syalabi juga berkunjung ke Barus dan melaporkan bahwa kota ini merupakan pelabuhan utama di Sumatra (Brakel 1979). Seorang musafir Portugis, Tome Pires juga telah melawat Barus dan dalam catatan perjalanannya Suma Oriental dia menyatakan:
"Sekarang tiba masanya berbicara tentang kerajaan Barus yang kaya dan makmur, yang juga disebut Pancur atau Pansur. Orang-orang dari Gujarat menyebutnya Panchur, dan begitu pula halnya orang Persia, Arab, Keling, Bengali, dan lain-lain. Orang-orang Sumatra (Melayu) menyebutnya Baros atau Barus. Ia merupakan sebuah kerajaan, bukan dua. Berbatasan dengan Tiku di satu pihak dan batas lain Ialah wilayah kerajaan Singkil; pedalaman daerah itu berhubungan dengan daerah Minangkabau dan di hadapannya di tengah laut terletak pulau Nias...Kerajaan ini merupakan pusat perniagaan di pulau Sumatra, oleh sebab ia pelabuhan tempat emas dijual dan dibawa, dan juga sutra, benzoin, barus dalam jumlah besar...madu dan barang-barang niaga lain yang amat banyak terdapat di situ melebihi di tempat lain...dan semua pedagang berkumpul di negeri ini.
(Cartesao 1944:161-2)
Sebuah misi dagang Portugis melaporkan bahwa pada akhir abad ke-16 Barus masih merupakan pelabuhan dagang yang besar dan ramai. Di sini benzoin putih bermutu tinggi didapatkan dalam jumlah besar, begitu pula kamfer, kayu cendana dan gaharu, asam kawak, jahe, kasia, kayu manis, timah, pensil hitam, serta sulfur yang banyak dibeli pedagang-pedagang Turki dan Arab untuk dijual di Kairo dan kota-kota Arab lain. Emas juga didapatkan di situ dan biasanya dibawa ke Mekkah oleh para pedagang dari Minangkabau, Siak, Indragiri, Jambi, Kampar, Pedir dan Lampung (Teensma 1989).
Sebagai kota dagang yang ramai disinggapi pedagang-pedagang Muslim, sudah pasti Barus menjelma pula sebagai pusat pendidikan Islam dan kegiatan tariqat sufi. Pada abad ke-13, terutama setelah jatuhnya kekhalifatan Baghdad ke tangan bangsa Mongol, para sufi (ahli tasawuf) semakin memainkan peranan penting dalam penyebaran agama Islam, khususnya di India dan Asia Tenggara. Mereka menjalin kerjasama dengan organisasi-organisasi dagang yang mempunyai jaringan internasional yang luas diseantero negeri, dan membentuk ta'ifa, semacam organisasi sosial keagamaan yang mempunyai kegiatan ekonomi dan perdagangan, serta mendirikan lembaga-lembaga pendidikan Islam dan tempat latihan-latihan kerohanian bagi para pengkut tariqat mereka (John 1961). Dalam berdakwah para sufi ini menggunakan bahasa lokal dan budaya lokal. Lambat laun mereka menjadi perintis kegiatan penulisan kitab keagamaan, keilmuan dan sastra di negeri-negeri yang masyarakat Muslimnya sudah berkembang (Nasr 1985).
Karena itu tidak mengherankan apabila pada abad ke-16 di Barus berkembang pula lembaga-lembaga pendidikan Islam dan lembaga pendidikan pada masa itu, yangbiasa disebut dayah atau pesantren di Melayu, merupakan salah satu pusat utama kegiatan penulisan kitab keagamaan dan sastra. Sebagai tempat yang telah lamamenjadi pusat kegiatan pendidikan, sudah pasti tradisi sastra tertulis juga sudah lama berkembang di wilayah Barus dan sekitarnya sehingga memungkinkan munculnya seorang penyair besar seperti Hamzah Fansuri, diikuti oleh murid-muridnya yang sebagian dari karya-karya mereka disalin kembali pada akhir abad ke-17 atau awal abad ke-18 seperti termuat dalam MS Leiden Cod. Or. 2016. (Abdul Hadi W. M. 2001)
Namun nasib kota ini sangatlah menyedihkan pada abad ke-17. Ia mengalami kemunduran sebagai kota dagang setelah dimasukkan ke dalam wilayah kesultanan Aceh oleh Sultan Iskandar Muda(1607-1637). Sultan ini memperkecil peranan Barus sebagai pusat perdagangan maupun sebagai kegiatan kebudayaan Melayu (Lombard 1986:111-2). Pada tahun 1650 Barus menjadi korban gempa bumi dan tsunami yang dahsyat sehingga kegemilangannya tenggelam. Pada awal abad ke-18 kota tersebut telah berubah menjadi sebuah pekan kecil yang sunyi yang dihuni nelayan-nelayan kecil.Valentijn, seorang sarjana Belanda yang berkunjung ke Barus pada tahun 1706,menulis dalam bukunya seperti berikut:
"Seorang penyair Melayu, Hamzah Pansur...yakni seorang yang sangat terkemuka di lingkungan orang-orang Melayu oleh karena syair dan puisi-puisinya yang menakjubkan, membuat kita karib lagi dengan kota tempat lahir sang penyair, apabila dalam puisi-puisinya yang agung itu dia mengangkat naik dari timbunan debu kebesaran dan kemegahan masa lampau kota itu dan mencipta kembali masa-masa gemilang dari kebesarannya" (Teeuw 1966)
Meskipun pada abad ke-18 kota ini telah menjelma jadi pekan kecil yang sunyi, namun kegiatan penulisan sastra Melayu tampaknya masih berjalan. Keterangan Valentijn memberi kesan demikian, teks yang dijadikan bahan penelitian Doorenbos dalam disertasi doktornya "De Geschriften van HamzahPantsoeri" adalah teks dalam naskah yang disalin di Barus, tidak lama sebelum Valentijn mengunjungi negeri itu.
Sumber: Disini
0 komentar:
Posting Komentar