Oleh: Alwi Alatas*
SETIAP kali mendengar istilah Yahudi, sebagian orang mungkin membayangkan istilah ini mewakili dua hal sekaligus: agama dan bangsa/ras. Dengan kata lain, Yahudi merupakan agama yang dianut oleh orang-orang berdarah Yahudi (Bani Israil). Agama Yahudi memang biasanya dinisbatkan kepada keturunan Israil (Nabi Ya’qub ’alaihis salam), yang terdiri dari 12 suku, dan bukan kepada selain mereka. Kita mengetahui bahwa di sepanjang sejarah dan juga pada hari ini, ada banyak orang-orang berdarah Yahudi yang menganut keyakinan selain Yahudi, baik Islam, Kristen, ataupun atheisme. Tapi banyak orang mungkin tidak membayangkan adanya bangsa non-Yahudi, bangsa di luar kedua belas suku Israil, yang menganut yudaisme. Kenyataannya, ada beberapa suku bangsa non-Bani Israil yang menganut yudaisme, di samping mereka yang memang berdarah Yahudi.
Dalam kitab-kitab Sirah Nabawiyyah kita membaca bahwa sekitar satu abad menjelang kenabian ada peristiwa terkait dengan apa yang disebut Al-Quran sebagai Ashabul Ukhdud. Tepatnya pada tahun 523 M, seorang raja beragama Yahudi di Yaman, Dzu Nuwas, melakukan penyerangan dan pembunuhan terhadap para penganut Kristen di wilayah Najran. Peristiwa inilah yang memicu invasi pasukan Ethiopia ke Yaman.1 Ibn Hisyam menyebutkan di dalam sirahnya bahwa agama Yahudi masuk ke Yaman pada masa itu melalui dakwah rabi Yahudi terhadap penguasa di wilayah Yaman, bukan melalui migrasi orang-orang Yahudi. Konversi beberapa Raja Bani Himyar di Yaman bahkan sudah terjadi sejak beberapa abad sebelumnya. Selain di Yaman, sejarah juga menyebutkan bahwa beberapa suku Berber di Afrika Utara, seperti suku Jawara, Nafusa, dan Kahina, menganut agama Yahudi sebelum masuknya Islam ke wilayah itu dan sebagian dari mereka mempertahankannya hingga ke masa Islam.2
Di antara kaum non-Bani Israel yang menganut agama Yahudi yang paling penting dan paling menonjol di dalam sejarah adalah bangsa Khazar. Orang-orang Khazar merupakan bangsa keturunan Turki, walaupun ada satu riwayat yang sulit dikonfirmasi kebenarannya menyebutkan bahwa mereka adalah keturunan Japeth bin Nuh dan menjalin hubungan pernikahan dengan keturunan Ibrahim ’alahis salam, dari istri Arabnya yang bernama Qantura/Keturah binti Maqtur yang berhijrah dan mendiami wilayah Khurasan.3 Mereka mendiami wilayah di bagian Utara Laut Hitam, yang sekarang ini merupakan bagian dari wilayah Rusia, berbatasan dengan Kekhalifahan Islam di sebelah Selatan dan Tenggara, dan dengan Byzantium di sebelah Barat dan Barat Daya. Kerajaan Khazar eksis sejak abad ke-7 dan bertahan selama beberapa abad lamanya, setidaknya sampai abad ke-10/11. Pada awalnya mereka menganut paganisme dan shamanisme, namun sejak pertengahan abad ke-9 mereka menganut agama Yahudi.
Nama Khazar disebutkan dalam banyak literatur muslim pada masa itu, walaupun tidak secara detail. Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi, matematikawan muslim, pernah dikirim oleh Khalifah ke Khazar, entah untuk keperluan apa. Misi Sallam mencari tembok Ya’juj Ma’juj, sebagaimana pernah kami sebutkan dalam tulisan sebelumnya ("Rihla"), juga melalui kerajaan ini dan mendapat bantuan dari penguasa Khazar, Tarkhan.4 Sejak pertengahan abad ke-7, bangsa Khazar menjadi kekuatan yang dominan di wilayah Kaukasia dan memainkan peranan penting dalam perdagangan antara dunia Islam dengan wilayah-wilayah di sekitarnya selama 3 abad berikutnya.5 Masa-masa perang dan damai dengan tetangga-tetangganya yang muslim (Abbasiyah) dan Kristen (Byzantium), serta interaksi dengan orang-orang Yahudi yang bermigrasi ke Khazaria sejak abad ke-8, mendorong penguasa Khazar untuk memilih salah satu dari tiga agama tersebut. Pada pertengahan abad ke-9, Raja Bulan mengundang tokoh-tokoh agama Yahudi, Kristen, dan Islam untuk mengetahui doktrin dan ajaran masing-masing agama. Ia kemudian memilih Yahudi sebagai agamanya, dan belakangan menjadikannya sebagai agama resmi kerajaan. Kira-kira tiga abad kemudian, Yehuda ha-Levi, seorang filsuf Yahudi di Andalusia, menulis sebuah kitab berjudul Sefer ha-Kuzari (Kitab al-Khazari), sebuah kitab yang lebih ditujukan untuk menunjukkan keunggulan teologis Yahudi melalui kisah dialog antara penguasa Khazar dengan tokoh-tokoh agama, ketimbang aspek historis dari proses konversi itu sendiri.
Dalam bagian kedua buku ini diceritakan bahwa setelah berdialog dengan ketiga tokoh agama tersebut, dan juga dengan seorang filsuf, penguasa Khazar dan wazirnya melakukan perjalanan ke daerah pegunungan hingga pada suatu malam tiba di sebuah gua dan berjumpa dengan orang-orang Yahudi yang tengah merayakan hari Sabath. Dengan merahasiakan identitasnya, mereka kemudian berkonversi ke agama Yahudi dan disunat di gua tersebut. Setelah itu mereka kembali ke kerajaan dan mempelajari hukum-hukum Yahudi lebih jauh, tapi masih merahasiakan keyahudian mereka untuk beberapa waktu lamanya. Secara bertahap mereka kemudian mengumumkan agama baru mereka dan mendorong masyarakat Khazar untuk memeluk agama Yahudi.
Ha-Levi juga menjelaskan bahwa "buku-buku sejarah mereka (Khazar, pen.) juga menyebutkan tentang kemakmuran mereka, bagaimana mereka mengalahkan musuh, menaklukkan wilayah-wilayah lawan, dan mendapatkan harta pampasan yang besar ... betapa mereka menyintai keyakinan mereka dan memendam rindu terhadap Rumah Suci, sampai-sampai mereka membuat sebuah tabernakel seperti yang pernah dibuat oleh Musa. Mereka juga menghargai dan menyambut orang-orang keturunan Israel yang hidup di tengah-tengah mereka."
Penguasa-penguasa Khazar berikutnya meneruskan kebijakan ini. Mereka menganut agama Yahudi secara sungguh-sungguh, membangun sinagog di wilayah Khazar, mengundang rabi-rabi Yahudi dari negeri-negeri lain untuk datang dan mengajar di negeri mereka, dan mendorong konversi lebih jauh masyarakatnya ke dalam agama Yahudi. Dengan demikian, walaupun ada sebagian masyarakat Khazar yang menganut Islam dan juga Kristen, sebagian besar bangsa Khazar kemudian menjadi penganut Yahudi. Sejak saat itu, terutama sejak abad ke-10, bangsa Khazar secara umum dikenal sebagai penganut Yahudi.6
Yehuda ha-Levi, yang telah kami sebutkan di atas, bukan tokoh Yahudi pertama di Andalusia yang mengetahui tentang keberadaan Yahudi Khazar. Pada tahun 950-an, seorang tokoh Yahudi lainnya di Andalusia, Hasdai ibn Shaprut, telah mendengar tentang keberadaan kerajaan Yahudi Khazar yang terletak jauh dari tempat tinggalnya itu. Ia berusaha mengirimkan sebuah surat kepada penguasa Khazar untuk mendapatkan informasi lebih dalam. Upayanya yang pertama gagal dan suratnya hanya mencapai Konstantinopel. Tapi sebagai gantinya ia mendapatkan informasi tentang sejarah Khazar dari seorang Yahudi Khazar di Konstantinopel melalui sebuah surat yang kini dikenal sebagai Schechter Letter. Surat itu menjelaskan bahwa bangsa Khazar dan Yahudi yang bermigrasi dari Armenia saling menikah satu sama lain dan menjadi bangsa yang satu.7
Upaya Hasdai yang berikutnya pada tahun 954 berhasil dan suratnya diterima oleh Raja Joseph yang memimpin Kerajaan Khazar. Balasan surat Raja Joseph diterima oleh Hasdai pada tahun berikutnya. Surat itu menjelaskan tentang konversi penguasa Khazar serta masyarakatnya ke dalam agama Yahudi hingga ke masa itu. Sejak menganut Yahudi, nama-nama penguasa Khazar sebagian besar mengadopsi nama-nama semitik, seperti Yitzhak, Benjamin, Aaron, dan juga Joseph.8
Ironinya, hanya satu dekade setelah korspondensi Hasdai tersebut, Kerajaan Khazar mengalami keruntuhan. Bangsa Rus menginvasi kerajaan tersebut pada tahun 960-an dan memporak-porandakan ibukotanya, Atil, pada tahun 967/968. Kerajaan tersebut tampaknya masih bertahan setidaknya sampai setengah abad berikutnya, tetapi kekuatannya semakin kecil dan akhirnya menghilang dari sejarah. Kemunduran kerajaan ini mendorong bangsa Khazar melakukan migrasi ke beberapa wilayah Eropa Timur, seperti Hunggaria, Polandia, di samping yang tetap bertahan di tempat asalnya di bawah pemerintahan bangsa lain. Mereka kemudian terasimilasi ke dalam masyarakat tempat mereka tinggal, terutama dalam komunitas Yahudi setempat. Sekarang ini, kita tidak mendengar lagi adanya negeri atau wilayah bernama Khazaria, bangsa bernama Khazar, atau bahkan sebutan Yahudi Khazar. Sebagian peneliti dan penulis kontemporer, seperti Arthur Koestler dalam bukunya The Thirteenth Tribe: Khazar Empire and Its Heritage, mengemukakan teori bahwa orang-orang Yahudi Eropa, atau yang dikenal sebagai Yahudi Askhenazi, sebetulnya merupakan keturunan Khazar, atau setidaknya banyak dipengaruhi oleh ras bangsa Khazar, dan bukan murni keturunan Israel. Dengan kata lain, kebanyakan orang-orang Yahudi sekarang ini dikatakan tidak berasal dari dua belas suku Israel, melainkan berasal dari ’suku yang ke-13,’ yaitu bangsa Khazar.
Perdebatan tentang asal-usul Yahudi Askhenazi ini menjadi penting mengingat kelompok Askhenazi mewakili 80% komposisi Yahudi dunia pada hari ini Teori asal-usul non-Yahudi pada kaum Askhenazi ini bukannya tanpa dasar sama sekali, terlebih lagi upaya dakwah dan konversi terhadap orang-orang non-Bani Israil di Eropa juga terjadi terhadap beberapa bangsa Eropa Timur selain Khazar.9 Teori ini telah menggugat klaim orang-orang Yahudi kontemporer terhadap tanah Palestina dan melemahkan legitimasi mereka untuk terus menguasai wilayah tersebut. Sebab sekiranya mereka bukan keturunan Bani Israil yang dulu pernah mendiami Palestina, maka atas alasan apa mereka mengklaim hak untuk kembali ke sana? Teori ini tentu saja menimbulkan rasa tidak suka di kalangan orang-orang Yahudi, khususnya para pendukung Zionisme, yang melabeli para pendukung teori tersebut sebagai penganut anti-semitisme. Belum lama ini seorang Profesor Sejarah di Tel Aviv University, Shlomo Sand, menulis sebuah buku berjudul The Invention of the Jewish People (terbit pertama kali dalam bahasa Ibrani pada tahun 2008 dan versi Inggrisnya terbit tahun 2009). Dalam buku tersebut ia juga mendukung pendapat yang menyatakan bahwa kebanyakan orang-orang Yahudi di Eropa Tengah dan Timur merupakan keturunan Khazar yang menganut yudaisme. Baginya tidak ada bangsa Yahudi (Jewish People), yang ada hanyalah komunitas-komunitas beragama Yahudi yang dikonversikan di sepanjang sejarah Yahudi. Lebih jauh ia menolak pendapat populer yang menyatakan bahwa orang-orang Yahudi telah diusir keluar dari Palestina dan karenanya wajib untuk kembali ke Palestina.
Menurutnya bangsa Romawi tidak pernah mengusir keluar orang-orang Yahudi dari Palestina dan orang-orang Yahudi sendiri tidak melakukan eksodus keluar dari wilayah itu. Kebanyakan orang-orang Yahudi tetap tinggal di Palestina, dan pada saat Islam masuk ke daerah itu kebanyakan mereka masuk Islam, berbaur dengan orang-orang Arab, dan menjadi nenek moyang orang-orang Arab-Palestina yang ada sekarang. Secara umum Shlomo Sand berpendapat bahwa ide tentang bangsa Yahudi merupakan kreasi (invention) para Sejarawan Yahudi abad ke-19 dan 20 yang menjadi sumbangan bagi Zionisme.10
Memang tidak mudah untuk memastikan apakah orang-orang Yahudi Askhenazi merupakan keturunan Khazar atau betul-betul berdarah semitik. Belakangan ini banyak dilakukan penelitian DNA oleh para ahli untuk melacak asal-usul biologis orang-orang Yahudi modern. Banyak dari studi ini menunjukkan bahwa secara paternal, orang-orang Yahudi yang ada sekarang memiliki asal usul genetis Timur Tengah. Kromosom Y (kromosom yang hanya diwarisi dari jalur bapak) yang ada pada mereka, mirip dengan yang dimiliki orang-orang Arab yang ada di Palestina, Lebanon, dan Syria.11Tapi hal ini tidak sepenuhnya menghapus kemungkinan adanya percampuran dengan ras non-Yahudi.
Penelitian DNA keturunan Yahudi Askhenazi yang dilakukan oleh Almut Nebel dan timnya menunjukkan bahwa walaupun secara genetik mereka lebih dekat dengan orang-orang Yahudi dan Arab di Timur Tengah, tetapi ada frekuensi R-M17 yang cukup tinggi (11,5%) pada kromosom Y mereka. R-M17 merupakan kromosom Y yang dominan di kalangan masyarakat Eropa Timur. Ini mungkin merepresentasikan adanya pengaruh genetik dari bangsa Khazar.12 Adapun dari jalur maternal, masih ada perbedaan pendapat di kalangan para ahli genetik apakah kaum lelaki Yahudi yang bermigrasi ke Eropa menikah dengan perempuan setempat atau membawa serta pasangan-pasangan Yahudi mereka dari Timur Tengah.13 Secara umum dapat dikatakan bahwa penelitian DNA atas kaum Yahudi yang dilakukan dalam satu dekade terakhir ini, dan kebanyakannya dipimpin oleh para ilmuwan yang berbasis di Israel, menguatkan klaim orisinalitas semitik kaum Yahudi modern, walaupun tidak dalam artian ras yang murni.
Apakah orang-orang Yahudi, termasuk Yahudi Askhenazi, yang ada sekarang memiliki ras yang murni atau tidak bukanlah sesuatu yang terlalu penting. Sekiranya mereka memang keturunan Israil (Ya’qub ’alaihis salam), mereka tetap tidak berhak merampas tanah Palestina dan berlaku zalim terhadap penduduknya. Mereka justru seharusnya malu karena perilaku mereka sama sekali tidak menunjukkan kemuliaan nenek moyang mereka yang banyak melahirkan nabi-nabi dan orang-orang shalih. Dan sekiranya Yahudi Askhenazi ternyata memang kebanyakannya keturunan Khazar, dan bukan Bani Israil, seharusnya mereka lebih malu lagi, karena dusta yang telah mereka sebarluaskan demi merampas tanah orang lain. Tapi, apalah maknanya kalimat-kalimat ini bagi suatu bangsa yang memang tidak tahu malu. Wallahu a’lam bish showab.
Sumber: hidayatullah.com]
Minggu, 08 Agustus 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar