MULAI 25 Juli lalu, pandangan dunia tertuju kepada WikiLeaks. Organisasi internasional yang didirikan pada Desember 2006 oleh Julian Assange tersebut layak mendapatkan dua jempol. Betapa tidak. Tepat pada tanggal itu, WikiLeaks memublikasikan sejumlah besar dokumen rahasia, yang konon merupakan data intelijen militer Amerika Serikat (AS), tentang perang melawan militan di perbatasan Afghanistan-Pakistan.
Atas keputusan membocorkan dokumen rahasia yang juga disebut sebagai Afghan War Diary atau The War Logs itu, WikiLeaks menuai kutukan dari Presiden Afghanistan Hamid Karzai, juga Gedung Putih. Sebab, dokumen tersebut tidak hanya membeberkan kegagalan militer Negeri Paman Sam dalam membekuk Taliban yang dicap sebagai kelompok teroris, tapi juga memuat nama informan dan mata-mata sipil yang selama ini membantu misi AS dan pasukan NATO.
"Sebelum merilis dokumen-dokumen itu, kami sudah mengontak Gedung Putih dan minta mereka membantu kami menyortir data yang ada. Dengan demikian, saat dokumen-dokumen itu kami publikasikan, tidak ada identitas orang-orang tak berdosa yang terekspos. Tapi, Gedung Putih menolak permintaan kami," ujar Assange untuk membela diri seperti dikutip The Age Jumat lalu (30/7).
Dalam wawancara dengan ABC awal pekan ini, pria 39 tahun itu menyayangkan komplain Gedung Putih. Apalagi, Gedung Putih, tampaknya, menyalahkan WikiLeaks karena tereksposnya nama-nama informan Afghanistan, yang mungkin saja nyawa mereka kini terancam, tersebut. "Tidak ada yang bisa kami lakukan untuk menghentikan ancaman keamanan itu selain meminta kepada mereka (WikiLeaks, Red) untuk berhenti memublikasikan dokumen yang ada di tangan mereka," kata Jubir Gedung Putih Robert Gibbs.
Apalagi, sejak Jumat lalu Taliban mengumumkan lewat situs resmi siap menghukum seluruh warga sipil Afghanistan yang diam-diam menjadi informan AS. "Kami kini mempelajari dokumen-dokumen tersebut. Kami sudah mengantongi nama-nama mereka yang menjadi mata-mata dan diam-diam bekerja sama dengan pasukan AS," ungkap Jubir Taliban Zabihullah Mujahid seperti dilansir stasiun televisi Inggris, Channel 4 News.
Selain nama, dokumen rahasia yang dipublikasikan WikiLeaks serta disebarluaskan The New York Times, The Guardian, dan Der Spiegel itu mencantumkan nama suku dan informasi tentang keluarga para informan AS. "Kami akan menelusuri informasi tersebut lebih lanjut lewat tim intelijen kami. Jika mereka benar-benar terbukti menjadi informan AS, kami punya cara tersendiri untuk menghabisi mereka," lanjut Mujahid seperti dikutip Newsweek.
Sikap Taliban itu membuat Gedung Putih semakin menyalahkan Assange dan organisasi yang dipimpinnya. "Jubir Taliban di Afghanistan sudah mengabarkan bahwa kelompok militan tersebut kini memburu nama-nama informan yang tercantum di sana. Itu adalah masalah yang serius," kata Gibbs. Konon, WikiLeaks masih memiliki sedikitnya 15.000 dokumen rahasia yang juga segera diterbitkan.
Pekan lalu, Presiden AS Barack Obama menyatakan, dalam sekitar 92.000 dokumen yang kini menjadi konsumsi masyarakat global tersebut tidak ada informasi baru yang belum dipaparkan sebelumnya. Sebab, dokumen-dokumen itu disusun pada 2004-2009. "Tapi, kini publikasi dokumen rahasia tersebut mengancam nyawa para serdadu AS dan sekutu kami. Juga, nyawa para informan kami," papar pemimpin 48 tahun tersebut.
Jumat lalu, James Brown kembali menegaskan pernyataan Obama. Mantan kapten Angkatan Darat (AD) Australia yang bertugas di Afghanistan pada 2008-2009 itu khawatir dokumen tersebut membuat nyawa lebih banyak serdadu melayang. "Saya tidak yakin bahwa WikiLeaks atau surat kabar yang ikut menyebarluaskan kebocoran itu memang punya hak untuk memutuskan apa yang boleh dan tidak mereka publikasikan," kritiknya.
Bocornya dokumen penting di era canggih seperti sekarang jelas memantik kontroversi. Dalam waktu singkat, kawan dan lawan dengan mudah mengakses informasi yang dibutuhkan. Dengan hanya berselancar singkat di dunia maya, laporan intelijen soal strategi perang, metode patroli, model serangan, dan informan AS bisa didapat dengan mudah.
Menurut Robert Baer, pejabat senior CIA, bocornya dokumen rahasia itu lebih berdampak pada tatanan intelijen daripada kebijakan. "Mulai sekarang, mereka yang berpikir hendak mengkhianati Taliban akan berpikir ulang," katanya kepada The Age. Sejak lama, tokoh intelijen tersebut memang tidak yakin bahwa AS bakal sukses melibas Taliban. Sebab, Afghanistan adalah negeri asing bagi AS. Yang jadi kendala AS bukan hanya medan yang terjal, tapi juga pola masyarakat dan pemerintahan Afghanistan.
"Kualitas intelijen (AS, Red) sangat payah. Sebenarnya, mereka benar-benar buta soal musuh yang dihadapi. Padahal, penjajah harus paham benar terhadap peta negara yang diduduki," ungkapnya. Menilik dokumen rahasia yang kini dengan mudah bisa diunduh dari dunia maya, Baer yakin bahwa intelijen AS terlalu mengandalkan informan yang tidak resmi alias intelijen jalanan. Mereka biasanya memberikan informasi penting berbau intelijen demi imbalan sejumlah uang atau barang.
"Sangat mengerikan jika mereka hanya mengandalkan laporan dari para intelijen jalanan itu untuk menyusun serangan," sesalnya. Karena itu, dia maklum jika sebagian besar serangan yang dilancarkan AS dan pasukan koalisi berakhir dengan kegagalan. Andai berhasil menarget militan pun, pasti lebih banyak korban sipil yang berjatuhan. Kini AS pun harus bersusah payah mengembalikan kepercayaan publik dan sekutunya kepada kemampuan militer mereka.
Dengan nama kebebasan informasi, bisa saja WikiLeaks menjadi hero. Mereka bisa memaparkan betapa masih lemahnya sistem intelijen dalam perang itu. Tapi, bagi yang kontra, WikiLeaks akan disebut ember (julukan untuk pihak yang tidak bisa menyimpan rahasia). (hep/c11/dos)
Sumber: jawapos.co.id
Minggu, 01 Agustus 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar