Pangeran Diponegoro naik kuda, mengenakan jubah dan surban, ketika beristirahat bersama pasukannya di bantaran sungai Progo, pada penghujung tahun 1830. Foto: Gahtena.nl |
Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika
Apakah Pengeran Diponegoro terbiasa mengenakan sorban (turban)? Pertanyaan ini memang menggeletik sebab akan memancing kontroversi tentang pakaian serban ini yang kini kadang disalahkaprahi sebagai ciri atau lambang yang dilekatkan sebagai ’sosok radikal’ bila dikenakan orang Indonesia masa kini.
Ketika soal ini kemudian ditanyakan pada guru besar filsafat Islam Universitas Paramadina, Prof DR Abdul Hadi WM, jawabnya malah mengejutkan. Dia mengatakan tak bisa disalahpahami seperti itu. Serban adalah pakaian ang lazim digunakan pada zaman itu dan sebelumnya yakni ketika Islam masuk ke Nusantara.
‘’Banyak kan tokoh dan pemimpin Islam mengenakan serban. Bahkan ulama NU dan tokoh NU terbiasa memakainya. Jadi tak benar. Itu pandangan pejoratif. Bahkan mereka memanggil para orang yang memakai serban sebagai ulama, yakni dengan sebutan maulana,’’ kata Abdul Hadi pada suatu percakapan.
Dalam soal serban dan jubah, bahkan ada fakta yang menarik. Dahulu Raja Mataram, Sri Susuhunan Pakubuwana IV dalam sejarahnya selalu dan terbiasa memakai serban maupun jubah. Bahkan Sunan yang menciptakan banyak sekali tembang Jawa klasik ini terbiasa memakai jubah pada keseharian. Tak hanya itu Sultan yang sangat santri (disebut juga sebagai Sultan Wali) ini kerap memberikan khutbah Jumat di Masjid Kraton Surakarta.
Salah satu jejak karya Sunan Pakubuwana IV ini adalah ‘Serat Wulang Reh’. Isinya berisi nasihat mengarungi dalam mengarungi hidup. Karya ini sanga Islami dan sangat populer di kalangan masyarakat Jawa sampai sekarang. Salah satu penggal Serat Wulang Reh diantara begini:
Padha gulangen ing kalbu,
Ing sasmita amrih lantip,
aja pijer mangan nendra,
pesunen sarinarira
(Ajarilah dirimu melatih hati,
Supaya batinmu menjadi pintar,
Jangan suka makan dan tidur
Biar dapat terwujud cita-citamu
Buatlah prihatin badanmu
Kurangi makan dan tidur)
Dan khusus untuk kebiasaan mengenakan serban dan jubah itu kemudian juga diikuti oleh pangeran Diponegoro. Ini pun sudah banyak buktinya. Salah satunya adalah lukisan sketsa opsir yang merupakan pelukis tentara Belanda saat melihat pasukan Diponegoro ‘mesanggrah’ (singgah beristirahat) di tepi Kali Progo beberapa hari sebelum sang pangeran berkunjung ke rumah Residen di Magelang yang membuatnya kemudian ditangkap pada hari kedua lebaran Idul Fitri.
Yang paling unik adalah terlihat dalam lukisan pasukan Diponegoro bisa berbaris rapi. Kesan prajurit Diponegoro yang tak punya disiplin dan tak lebih hanya segerombolan ‘pengacau liar’ tak terbukti. Senjatanya terlihat rapi dan mereka mengenakan seragam, yakni pakaian yang sama. (lihat lukisan diatas,red).
Sejarawan asal Inggris yang menulis disertasi dan 40 tahun meneliti Pangeran Diponegoro, Peter Carey, dalam sebuah bukunya yang bertajuk ‘Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855' menyebutkan ketika berada di tepi Sungai Progo sang pangeran bersama 800 pasukannya, Mereka membuat perkemahan di bantaran sungai tersebut. Letaknya di Dusun Meteseh Jayengan, Kelurahan Kota Magelang, Kota Magelang.
Menurut Carey, lokasi itu dijadikan kamp perkemahan pasukan DIponegoro selama 20 hari mulai tanggal 8 Maret 1830. Waktunya adalah di awal bulan puasa itu serta terletak tidak jauh dari Kantor Residen Kedu tempat perundingan. Jaraknya tidak lebih dari 500 meter arah bawah kantor residen menuju pinggir sungai. Dan selama lebih 20 hari hingga tanggal 28 Maret 1830 itu memang terjadi semacam gencatan senjata atau tidak ada peperangan.
Lalu apa menariknya lagi dalam sketsa Pangeran Diponegoro kala berada di bantaran Sungai Progo saat itu? Jawabnya, yang jika ada pihak yang sering ragu bila Pangeran Diponegoro di kala beperang selalu naik naik kuda putih, mengenakan jubah, dan serban ternyata tidak benar adanya. Sebab, memang terbukti dan terlihat dalam lukisan itu Pangeran Diponegoro naik kuda sembari dikawal para bala tentaranya.
Dan ini pun sesuai dengan kisah yang mengatakan Pangeran Diponegoro adalah sangat piwai naik kuda. Ustaz Salim Fillah dalam sebuah tanyangan video mengatakan bila naik kuda Dipongeoro seperti tengah menari. Bahkan dia lazim serta piawai mengendarai kuda tanpa tali kekang.
‘’Beliau kerakali mengendalikan kuda dengan hentakan kaki dan tangan. Kipiwaian berkuda ini dia dapat kiranya dari moyangnya yang merupakan salah satu Sultan di Bima, Nusa Tenggara Barat. Bahkan di rumahnya di Tegal Rejo dia punya 70 kuda. Pangeran Diponegoro adalah seorang pangeran yang kaya raya sekaligus menjadi penasihat Sultan Jogja saat itu,’’ ungkap Salim Fillah.
Ternyata serban, juga, kuda putih lazim dikenakan Diponegoro
Konfirmasi
soal serban dan jubah yang lazim digunakan Pangeran Diponegoro kemudian
terkonfirmasi pada saat dia tertangkap dan kemudian ditahan di Batavia
(Jakarta). Dan yang melukis adalah seorang hakim kota Batavia yang
bernama Adrianus Johannes Jan Bik. Jadi selain menjadi hakim Bik
ternyata seorang pelukis piring cukup piwai, terutama melukis
porselen.Kala itu Bik merupakan seniman yang paling terdidik di Hindia
Belanda. Saat itu Bik melukis sang pangeran memakai pensil.Nah pada saat itu, Bik yang tengah bertugas di Batavia mendapat kiriman tahanan ‘kelas satu’ yang selama ini merepotkan Belanda, yakni Pangeran Dipongoro. Dia berhasil ditangkap setelah ditangkap secara licik di Magelang dengan alasan melakukan pertemuan Silaturahmi lebaran. Bik itulah yang kemudian mengawainya antara tanggal 8 April hingga 3 Mei 1830. Pada saat yang sama, Pangeran Diponegoro ditahan di Batavia setelah berhasil ditangkap secara licik di Magelang. Bik-lah yang mengawasi Diponegoro selama mendekam di Balai Kota (Stadhuis) antara 8 April sampai 3 Mei 1830.
Menurut Peter Carey, Bik mampu melukiskan Diponegoro dengan detail berikut ciri keagungan sang pangeran. Lukisan Bik mencitrakan Diponegoro sebagai ulama sekaligus panglima perang. Padahal, Diponegoro kala itu berstatus tahanan politik kelas kakap. Pater Carey mencatat ada 112 kiai, 31 haji, 15 syekh dan penghulu yang sepaham dengan Diponegoro. Bukan hanya itu, dalam babad Dipanegara versi Surakarta disebutkan bahwa banyak temenggung, kliwon, penewu, mantri pangeran arya hampir tiap malam datang ke Tegalrejo (markas perlawanan Diponegoro) berjanji setia dan akan mendukungnya dalam melakukan 'perang sabil' (perang suci di jalan Allah).
Tulis Peter Carey, kala itu Bik melukis Diponegoro mengenakan pakaian ratu adil sebagai seorang pemimpin perang sabil. Kepalanya yang bersorban putih tampak seperti baru saja cukur rambut. Di jidatnya terdapat paras nabi (titik hitam). Pipinya terlihat cekung sebab Diponegoro dalam pemulihan penyakit malaria tropis. Sedangkan keris yang dipakainya kala itu adalah keris Bondoyudo.
Lukisan Bik ini dengan sosok Pangeran Diponegoro mengenakan surban dan jubah ini samai kini sangat terkenal. Tak hanya gambar ini selalu ada dalam buku sejarah, malah pernah dicetak sebagai gambar mata uang. Pada tahun 1952 untuk pecahan Rp 100. Seri kedua dicetak tahun 1975 untuk pecahan Rp 1000.
Lalu siapa yang masih ragu soal sosok serban dan jubah? Mari belajar pada sejarah. Dan inilah kredo Pangeran Diponegoro ketika ditanya soal mengapa mengorbankan perang kepada kolonial Belanda seperti termaktub dalam 'Babad Dipanegara'.
Ngantepi Islamnya samya
Nglampahi parentah dalil
Ing Quran pan ayat Katal
Namung sing Rabulngalamin
Ing akerat punika
Tetepa ingkang sinuwun
(Semua orang memegang teguh Islam
Menjalankan perintah dalil
Ayat Qital dalam Al Quran
Hanya kasih Rabbul’alamin
Di akhirat lah
Yang tetap dimohon).
republika.co.id
0 komentar:
Posting Komentar